Miris rasanya melihat foto yang terpampang di halaman depan surat kabar SURYA (2/8/2011). Para pria berseragam cokelat PNS tampak “tergeletak” tak berdaya di atas karpet masjid, tidur-tiduran sambil main HP. Baru hari pertama puasa, mereka tampak sudah loyo bekerja.
Padahal, setelah bulan puasa mereka akan dikejar pengeluaran besar untuk merayakan Idul Fitri. Ironis ya? Di Indonesia, bulan puasa adalah bulan terboros dalam pengeluaran konsumtif, sekaligus bulan di mana produktivitas menjadi rendah karena “keloyoan” para pekerja. Besar pasak daripada tiang.
Keadaan puasa bukanlah halangan untuk meningkatkan produktivitas. Kalau selama sebulan loyo, mau ke mana arah perekonomian negara? Jangan jadikan lapar sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Pengalaman pribadi, lapar itu hanya terasa pada awalnya. Ketika terbiasa dan diniatkan dengan ikhlas, apalagi ditambah dengan kesibukan, rasa lapar nggak akan terasa.
Seperta para orang suci zaman dulu (pertapa/pendeta/dll), perut kosong adalah saat di mana kita dituntut untuk mengendalikan diri, menjernihkan pikiran, dan berkontemplasi. Puasa adalah sarana untuk memperbaiki pekerjaan kita agar sejalur dengan jalan Tuhan, bukannya justru menunda/mengurangi pekerjaan kita. Bukankah bekerja adalah ibadah???