Belakangan ini berita2 internasional di koran isinya nyaris seragam: kerusuhan. Akhir Juli lalu kerusuhan berdarah meletus di Kashgar, Xinjiang, China menewaskan 8 orang. Terjadi baku tembak antara polisi dan perusuh. Melihat ceceran darah di restoran TKP sungguh mengerikan. Pemerintah China menuding militan Islam sebagai dalangnya, mengingat Xinjiang adalah kawasan otonomi yang mayoritas dihuni etnis Uyghur. Namun para analis menyimpulkan bahwa diskriminasi sosial ekonomi adalah penyebab utamanya.
Sebagai minoritas, etnis Uyghur merasa tertekan dengan kebijakan pemerintah China. Pemerintah meremajakan kota tua Kashgar (yang dulunya bagian dari Jalur Sutera) dan menggusur rumah penduduk lokal dengan kompensasi yang tidak layak. Di saat pertumbuhan ekonomi China melaju pesat, warga Xinjiang merasa “ditinggal”. Selain itu, warga Uyghur merasa terdesak dengan imigran etnis Han (mayoritas China) yang masuk ke wilayah mereka dan segera menguasai sentra-sentra ekonomi penting. Warga Uyghur semakin merasa “direndahkan”, dan karenanya meletuslah kerusuhan tersebut. Mereka menuntut otonomi yang lebih luas dan bahkan ingin ‘merdeka’.
Sebenarnya, kejadian ini mirip sekali dengan kerusuhan berbau separatis yang pernah meletus di Papua dan Maluku. Sebagai minoritas di Indonesia, warga kulit hitam di sana merasa tertindas oleh kebijakan pemerintah yang ‘pilih kasih’, ditambah lagi masuknya imigran Jawa menguasai ekonomi mereka.
Lalu, baru Sabtu lalu (6/8/2011) meletus kerusuhan di London. Kerusuhan cepat menjalar sampai sekarang sudah menyebabkan 4 orang tewas. Anak-anak muda tiba-tiba seperti kesurupan, merusak dan menjarahi sudut2 kota Tottenham, Birmingham, Nottingham, dan kota2 besar lain di Inggris. Meski PM Inggris David Cameron bersikeras bahwa kerusuhan itu hanyalah “tindak kriminal murni”, lagi2 ada yang membuka tabir: kerusuhan ini berbau rasial. Gerakan anak muda ini dipicu oleh tewasnya …, seorang Afro-Karibia, karena ditembak polisi.
Lalu “bangkai” yang disembunyikan pun semakin terkuak. Inggris yang membanggakan multikulturalisme-nya, ternyata juga menyimpan bibit-bibit ketidakpuasan minoritas. Warga kulit hitam yang hidup di kantong kemiskinan, semakin terpojok akibat krisis ekonomi Eropa sejak 2009. Mereka banyak ter-PHK, sedang pemerintah memotong berbagai tunjangan kesejahteraan sehingga si miskin makin miskin. Lalu, turunlah mereka ke jalan2 menumpahkan kemarahan.
Apa yang tersirat dari kerusuhan2 ini?
Kalau kita perhatikan, banyak sekali konflik timbul karena masalah SARA. Padahal negara2 sekarang banyak yang mengampanyekan multikulturalisme. Tapi ternyata, pemerintah negara itupun sulit untuk menyembunyikan “pilih kasih”nya. Diakui atau tidak, kebijakan pemerintah sedikit banyak akan membela mayoritas dan menyudutkan minoritas. Seperti yang terjadi di Indonesia pada etnis China. Di Jerman pada warga Turki. Di Amerika pada orang negro.
Tidak dapat dipungkiri, setiap orang punya bibit rasis di dalam dirinya. Sekecil apapun itu. Seseorang pernah mengatakan pada saya tentang hal ini; bahwa jika ada 2 orang dari etnis A dan B menawarkan sesuatu kepada etnis A, sedangkan yang mereka tawarkan sama persis, maka penawar etnis A akan cenderung lebih dipilih. Seseorang di Konjen Frankfurt juga pernah bercerita, bahwa jika ada 2 orang dengan kemampuan yang setara di sebuah perusahaan, satunya asli Jerman dan satunya turunan Turki, pasti si Jerman yang akan dipilih untuk naik pangkat.
Pada Oktober 2010, Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan dengan gamblang menyatakan: multikulturalisme telah gagal di Jerman. Lalu pada 22 Juli 2011, Anders Breivik menembaki orang2 di Norwegia karena sentimen anti-imigran nya. Gejala apa ini?
Kadang saya berpikir, kalau di setiap diri kita ada bibit2 rasis, lalu untuk apa kita diciptakan dalam sebuah keanekaragaman? Untuk apa semboyan ‘Unity in Diversity’? Bagi saya ini tetap menjadi misteri Tuhan.
Jika multikulturalisme telah gagal, mungkin selanjutnya demokrasi yang akan gagal. Lalu liberalisme. Lalu dunia akan kembali ke sistem monarki. Lalu manusia kembali terkotak-kotak dalam wilayahnya sendiri. Duh, jadi pusing sendiri.
*disarikan dari berita dan opini Kompas sebulan terakhir ditambah sedikit imajinasi*
Ijin komen *btw aku stalk blog kamu yaa hehehehe*
Kita diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal Mi. Mungkin kamu sendiri juga udah familier sama alasan itu. Alasan lainnya juga perbedaan itu sebagian menjadi ujian bagi kita, untuk menyeimbangkan sisi selfish dan selfless kita. Hasil akhirnya adalah pembentukan karakter manusia yang harapannya sesuai dengan kodrat kita: sebagai khalifah di bumi.
Soal anarki yang mulai muncul kembali, kalo menurutku itu karena manusia punya sifat lupa… lupa penderitaan akibat konflik, jadinya gitu deh. Karena itu orang sering bilang sejarah berulang.
Nggacor dan random, hehehe.
ya dit..i know the answer actually..hehe meski masih belum paham betul apa sebenernya yang dimaksud dengan “mengenal”… aku masih dalam pencarian dit…pengin tau sendiri sebenernya apa yang terjadi di balik kerusuhan2 itu..jangan2 ada hubungannya sama teori konspirasi *loh*
btw dit mungkin kamu tertarik sama diskusi tentang tulisan ini..aku posting di note fesbuk juga soalnya dan dikomen temen2ku dengan menarik :))
http://www.facebook.com/notes/umi-habibah/multikulturalisme-gagal/10150278188049145?notif_t=note_comment