“Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.â€
Demikian kutipan dialog yang digubah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarahnya, “Arok Dedesâ€. Novel setebal 553 halaman itu sangat istimewa, menceritakan kembali kisah legendaris leluhur kerajaan terhebat di Nusantara dengan ramuan intrik politik ala masa kini.
“Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan). Ini adalah roman politik seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa.  Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggal tanah Jawa).â€
Catatan penerbit yang ada di belakang buku ini saja sudah sungguh menarik, mengundang para peminat sejarah untuk melahap lembar demi lembar naskah berkualitas ini. Dan memang benar, menelan kata demi kata dalam buku ini, para pembaca akan digiring masuk dalam suasana tanah Jawa pada awal abad ke-13, ketika wangsa Isyana yang didirikan Mpu Sindok berkuasa di tanah Jawa.
Pram memang penulis jenius. Ia mampu mencocok-cocokkan fakta sejarah dengan imajinasinya yang begitu cerdas. Keberadaan penganut Hindu Syiwa, Hindu Wisynu, Buddha, Kalacakra, Tantrayana pada masa itu dijadikannya semacam “ideologiâ€, semacam landasan politik. Dikisahkannya tanah Jawa pada masa itu seolah-olah sedang dalam “cengkraman†Hindu Wisynu, agama yang dianut para raja wangsa Isyana, termasuk Kretajaya sang raja Kadiri yang berkuasa saat itu. Wisynu ala Isyana itu mulanya dicetuskan oleh Raja Airlangga, yang di sini diposisikan seolah seperti “pendiri ideologiâ€.
Ideologi Wisynu-nya Airlangga ini meski telah 200 tahun berkuasa, ternyata diam-diam ditentang oleh kaum brahmana. Para brahmana kebanyakan beraliran Syiwa atau Buddha, tidak setuju dengan cara Airlangga “meremehkan†para dewa. Airlangga raja yang terlalu merakyat, raja para petani. Ia menganggap dirinya titisan Dewa Wisynu, memuja para leluhurnya dan menyerupakan mereka bagai dewa, menyembah mereka lebih di atas dewa sendiri. Airlangga mempopulerkan “wayangâ€, sehingga dapat mengisahkan kitab2 pada rakyat biasa, kitab yang selama ini hanya boleh dibaca oleh kaum brahmana saja.
Kaum brahmana yang angkuh tidak suka dengan cara Airlangga itu. Bagi mereka para dewa terlalu mulia untuk digambarkan dalam wayang, terlalu tinggi untuk diserupakan pada manusia. Maka, selama bertahun-tahun para brahmana ini memendam dalam hati pertentangan mereka terhadap “rezim yang berkuasaâ€, dan mulai mendapatkan “angin segar†saat Arok muncul…
Sebenarnya dalam kitab-kitab kuno yang mengisahkan tentang Arok, tidak jelas apakah tokoh ini seorang protagonis atau antagonis. Saat membaca buku pelajaran SD atau SMP, cara Arok mendirikan Singhasari terasa begitu kasar dan licik. Ia membunuhi semua orang dengan keris Mpu Gandring lalu menyebar fitnah. Namun Pram menggambarkan kudeta ala Arok itu dengan lebih elegan. Ia menciptakan seorang Arok yang bagaikan pahlawan. Arok yang biarpun Sudra tapi berlaku Satria dan berotak Brahmana.
Satu hal lagi yang unik di sini adalah penggambaran Dedes. Dedes tetaplah seorang cantik rupawan nan mempesona, tapi Pram menghilangkan mitos nareswari yang melekat pada Dedes. Mitos bahwa Dedes adalah perempuan yang akan melahirkan raja-raja terbesar di tanah Jawa karena daerah kewanitaannya memancarkan sinar yang terang benderang.
Ya, Dedes tetaplah ibu dari para raja Jawa. Tapi Pram menggambarkan wanita ini adalah seorang yang sangat cerdas, putra Brahmana, berkemauan keras dan sebenarnya juga haus kekuasaan. Ditambah lagi, meskipun ia menentang perbudakan, Dedes dilukiskan sebagai seorang Syiwa yang cukup “ortodoks†dan agak “rasisâ€. Ia sangat bangga akan darah Hindu (Arya) yang mengalir dalam tubuhnya. Ia membenci suaminya (Tunggul Ametung), yang berkasta Sudra dan beraliran Wisynu, dan baginya cuma alat penguasa yang bodoh.
Maka ketika ia bertemu Arok, seorang jago brahmana beraliran Syiwa, cerdas dan cakap luar biasa, ia langsung jatuh cinta. Baginya Arok lah yang seharusnya pantas menjadi suaminya. Ditambah lagi, Arok dengan sokongan para Brahamana berniat menggulingkan Tunggul Ametung. Jadilah Dedes terlibat dalam persekongkolan dengan Arok untuk menjatuhkan suaminya sendiri.
Namun ketika kekuasaan telah didapat, Dedes “syok†mengetahui bahwa Arok telah memiliki istri seorang sudra beraliran Wisynu, yaitu Umang, gadis lugu yang telah membantu perjuangan Arok sejak dari bawah. Ia merasa terhina karena Umang juga diangkat sebagai pramesywari seperti dirinya. “Kerasisannya†berontak melihat Arok berkuasa dengan membawa segenap teman2nya, rakyat jelata dari kasta rendahan dan berbagai macam aliran non-Syiwa. Memang dalam buku sejarah dikisahkan bahwa hak Dedes sebagai pramesywari tidak sempurna karena Arok lebih mencintai istrinya yang lain, yaitu Umang.
Well…Kisah ini sungguh sangat menarik. Pram mampu menyajikan deskripsi detail mengenai suasana Jawa masa lampau, perwatakan tokoh yang kuat melekat, alur cerita yang mengalir menegangkan, membuat pembaca benar-benar tenggelam dalam kisah yang mempermainkan nalar dan emosi. Novel seperti ini sudah seharusnya diangkat menjadi film. Bangsa Indonesia harus mengetahui sejarahnya sendiri. Membaca kisah Arok dan Singhasari tak ubahnya seperti membaca perseteruan politik yang terjadi di negeri sendiri saat ini. Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena sejarah memang selalu berulang…
menarik, sepertinya saya harus menyisihkan bayaran dari pabrik untuk beli buku ini 😀
ndak perlu beli mas…pinjem di perpus aja…ak yo pinjem kok 😀
perpus mana?
perpus umum kota malang mas, gratis tis 🙂
mana yang lebih manusiawi? mengobarkan peperangan demi kebenaran dengan jutaan korban ataukah membantu tiran dan ketika bisa “merebut kekuasaan†dengan korban lebih sedikit?
bukan lebih manusiawi, tapi lebih cerdik…yang kedua itu lebih cerdik 😉
kalau begitu anda setuju pada prinsip saya. the end justifies the mean.