Siang hari yang terik tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara familiar yang lama tak terdengar. Inilah bakul es thung-thung a.k.a. es nong-nong a.k.a es dung-dung 😀
Didorong rasa ingin bernostalgia dan rasa kasihan sama si bapak yang capek ndorong gerobak di bawah terik matahari, saya beli 2 contong es thung-thung masing2 seharga seribu rupiah.
Semasa kecil waktu masih tinggal di Bogor, jaman harganya masih seratus rupiah, seingat saya orang2 menyebutnya es nong-nong. Waktu pindah ke Malang, namanya jadi es thung-thung. Waktu ada iklan es krim Walls di TV, baru tau ternyata ada yang menyebutnya es dung-dung. Tapi entah kenapa, di mana-mana es nong-nong/es thung-thung/es dung-dung ini rasanya sama aja. Khas dan Indonesia banget, sooo nostalgic 🙂 Bisa dibilang, ini adalah “es krim” tanpa susu, tapi pakai santan alias coconut milk. Ini kekayaan budaya yang harus dilestarikan lho!
Suara khas penjual es ini berasal dari alat musik “kenong” yang tergantung di gagang gerobaknya. Tau kenong kan? Itu lho bagian dari alat musik tradisional Jawa (gamelan/karawitan) yang kalo dipukul bunyinya “nong…nong”. Tapi lucu juga ya bagaimana orang2 mem-verbalkan bunyinya ini menjadi sebutan yang berbeda-beda: “thung…thung…” atau “dung…dung” 😀
Cara “memanggil” para pelanggan dengan alat musik ini juga bisa ditemui pada penjual arbanat. Tau kan…gula-gula berbentuk rumbai2 seperti rambut yang manis dan unik rasanya. Well, tentang “arbanat” ini next time aja dibahas lagi ;D