“Ya mungkin itu yang terbaik, kamu ditakdirkan untuk menjadi orang profesional.”
Begitu SMS dari Bapak saat saya kabari tentang kegagalan dalam seleksi awal beasiswa ADS. Sejujurnya saya juga enggak terlalu berharap untuk langsung memperoleh beasiswa dalam usaha pertama mencoba–I’m pretty sure that it’s gonna be difficult. Apalagi full scholarship dari pemerintah negara yang sudah populer, pasti banyaknya peminat akan bertabrakan dengan terbatasnya kuota. Dan–ini yang utama–lebih sedikit kesempatan beasiswa diberikan bagi pegawai swasta daripada bagi akademisi, pegawai pemerintah, atau aktivis LSM. A sad truth for me 🙁
Bapak saya mungkin berpikir, memang anakku ini kayaknya lebih cocok jadi “orang profesional” dalam artian jadi praktisi, kerja kantoran, jualan produk dan bergelut dalam bisnis manufaktur bertekanan tinggi (duh). Padahal kerja di pabrik itu capek–capek tenaga, pikiran, dan emosi. Masuk jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Kerja dari hari Senin sampai Sabtu. Rekan kerja yang keras dan kadang main sikut. Bos besar yang hobi ngamuk2. Customer yang cerewet, deadline yang mepet, hal-hal kayak gitulah.
Tapi somehow emang industri manufaktur punya tantangan tersendiri. Ya asik aja gitu kamu bisa tahu proses “penciptaan” suatu barang mulai sourcing parts sampai tiba di tangan konsumen. Industri manufaktur adalah industri yang paling kompleks–jika kamu sudah menguasai alurnya maka akan lebih mudah untuk terjun di bidang lainnya (someone said to me). Apalagi kalau mau punya bisnis sendiri, sungguh pabrik adalah tempat yang tepat untuk menimba ilmu.
I enjoy working here, tapi agak nggak terima aja kalo bapakku bilang kayak gitu. Apa itu artinya saya enggak ditakdirkan untuk bisa kuliah lagi? Duh ya jangan dong. Bisa2 jadi geblek beneran nih 😐 Baru 1,5 tahun kerja di sini aja rasanya otak udah tambah dhedhel–maunya mikir cepet yang praktis2 aja, jadi kurang kritis gitu.

Mestinya bisa kan jadi dua2nya–ya praktisi ya akademisi. Teori itu bukannya nggak penting lho ya. Kalau kamu tau teorinya, kerjaanmu jadi lebih gampang. Dosen saya dulu (MBA lulusan UK yang puluhan tahun kerja di perusahaan) pernah bilang, ibaratnya kalo kamu punya teori, kamu sudah punya ‘senjata’ sebelum berperang. Jadi misalnya ada permasalahan A, kamu tinggal keluarin ‘senjata’mu satu2, kalau gagal coba ‘senjata’ lain, dan seterusnya jadi gak perlu coba2 lagi. Meskipun kondisi lapangan tidak bisa ditebak, tapi setidaknya kamu punya pegangan awal, sisanya serahkan pada kreativitasmu sendiri.
Sebaliknya, kamu juga gak bisa memahami teori tanpa dipraktekkan. Kalo cuma belajar secara kognitif teori itu nggak akan nyantol…Kamu baru benar2 paham apa gunanya setelah ketemu kasus yang beneran di dunia nyata. Nanti setelah kamu berulangkali mempraktekkan teorimu, siapa tahu di lapangan kamu menemukan “celah” pada teori itu dan kemudian memperbaikinya. Akhirnya kamu jadi “pembuat” teorinya kan. Kesimpulannya…kamu perlu praktek untuk bisa memahami teori, dan teori itu sendiri sejatinya ya berasal dari praktek. Dua2nya sama pentingnya 😉
Jadi akademisi atau praktisi–mengapa harus dipilih? We can choose NOT to choose. Belajar itu bisa dari mana saja kan…yang penting sekarang…..well, I just wanna study abroad 😀
Kamu juga kan?
Sedih memang kalau ndak dapet restu dari orang tua. Seperti batu yang jatuh tiba tiba di depan mata saat kita sedang jalan.
Hampir sama seperti saya nih 😀
hmm bukannya gak kasih restu sih mba…mungkin maksudnya menghibur karena gagal beasiswa…tapi kesannya jadi kayak kurang didukung untuk cari beasiswa lagi…haha yah repot sih mba…kalo mba susi juga ga direstui gitu?