Horizon of Habibah

Where the sky meets the earth

Menu
  • About Me
  • Sample Page
  • Sample Page
  • Sitemap
Menu

Tentang Scarlett O’Hara

Posted on July 3, 2014 by umihabibah

“Tuhan adalah saksiku, Tuhan adalah saksiku, orang-orang Yankee tidak akan menjatuhkanku. Aku akan mampu hidup melewati ini, dan ketika ini semua berakhir, aku tidak akan pernah kelaparan lagi. Tidak, begitupun keluargaku. Bahkan jika aku harus mencuri atau membunuh sekalipun–Tuhan adalah saksiku, aku tak akan pernah kelaparan lagi!”

Demikianlah Scarlett O’Hara mengucapkan sumpah yang kemudian mengubah hidupnya–dan caranya menjalani hidup. Di bawah terik matahari panas, dalam kondisi perut yang kelaparan, ia mengais-ngais sisa sayuran di kebun para budak di Twelve Oaks yang sudah hancur lebur diserang prajurit Union. Perang Sipil Amerika sungguh luar biasa memporak-porandakan hidupnya. Perkebunan kapas milik keluarganya musnah, Ibunya meninggal, ayahnya menjadi gila, kedua adik perempuannya sakit parah, dan ia punya tanggungan 9 perut (wanita, bayi, dan budak) di rumahnya yang harus diberi makan. Sejak saat itu, Scarlett O’Hara bukan lagi gadis remaja primadona yang gemar berpesta–ia adalah janda perempuan kepala keluarga yang harus berjuang mempertahankan hidupnya, tanahnya, dan keluarganya.

Si cantik penggoda pria, Scarlett O'Hara
Si cantik menggoda, Scarlett O’Hara

Pada bagian2 awal buku ini saya merasakan kekaguman luar biasa pada kegigihan sosok Scarlett. Dia adalah perempuan yang sangat kuat dan berkemauan keras untuk mencapai apa yang ia inginkan. Di saat kerabat2nya masih sibuk meratapi nasib, syok dengan kebangkrutan mendadak dan kematian sanak saudara, dia sudah bangkit dan mulai menata hidupnya. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: hidup makmur seperti sebelum perang. Ia melakukan apa saja untuk mendapatkan uang: mengais kebun, bertani, beternak, menembak seorang Yankee dan merampok mayatnya, bahkan merebut kekasih adiknya sendiri lalu menikahinya untuk menguasai hartanya. Runtuh sudah semua nilai2 luhur kebangsawanan yang dulu diajarkan ibunya. Nasib pahit perlahan telah mengubah Scarlett menjadi gadis licik nan oportunis. Ia hanya peduli bagaimana caranya agar mendapatkan banyak uang–walaupun harus menyakiti kerabat2nya dan dikucilkan masyarakat.

Margaret Mitchell menciptakan karakter Scarlett dengan begitu detail dan nyata. Tokoh ini begitu manusiawi–begitu abu-abu. Tokoh utama yang cenderung antagonis, tapi sebetulnya memiliki motif2 yang masuk akal di baliknya. Somehow, Scarlett adalah karakter yang unik. Ada beberapa hal dalam dirinya yang bisa saya pahami sepenuhnya, tapi banyak juga yang sama sekali tidak dapat dimengerti.

Orang bilang, kisah “Gone with the Wind” ini adalah salah satu cerita cinta tragis yang legendaris. Tapi bagi saya novel ini lebih seperti sepotong biografi Scarlett O’Hara, mulai umur 15 tahun sampai 28 tahun. Caranya berpikir dan perubahan karakternya tahun demi tahun begitu terasa bagi pembaca. Saya yang awalnya mengagumi ketangguhan Scarlett sebagai perempuan, seiring berjalannya cerita menjadi geregetan dengan tingkahnya yang semakin egois, namun akhirnya juga ikut merasakan sedih di akhir cerita. Ya, “nelongso” rasanya setelah mengikuti perjuangan Scarlett sepanjang 1100 halaman lebih, ternyata ending-nya dia pun belum bisa meraih kebahagiaan.

Si cantik yang egois dan oportunis
Si cantik yang egois dan oportunis

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, sebetulnya Scarlett bisa merasa bahagia–hanya saja wataknya yang tidak peka menolak merasakan itu. Setelah menamatkan novel ini saya kepikiran cukup lama (sampe kebawa mimpi) kenapa gadis malang seperti Scarlett, yang sudah berjuang habis2an untuk mempertahankan hidup, harus berakhir menyedihkan seperti ini? Nggak adil banget memang. Tapi jawabannya, agaknya, terletak pada sosok Scarlett sendiri. Rasanya saya mulai paham “hikmah” apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Margaret Mitchell melalui kisahnya ini. Moral of the story is: pandai2lah bersyukur.

Kenapa? Begini alasannya.

Saat Scarlett menikah (untuk ketiga kalinya) dengan Rhett Butler, seharusnya Scarlett sudah bahagia. Ya, kalau saya jadi Scarlett, bagi saya itu sudah merupakan happy ending. Dia tidak perlu bekerja banting tulang lagi untuk menghidupi keluarganya. Dia bisa bersenang2 seperti saat sebelum perang. Rhett seorang pria kaya raya, keturunan bangsawan, tampan-gagah, dan yang terpenting, sangat memahami Scarlett apa adanya. Bukankah Scarlett sendiri merasa nyaman bersamanya? Bukankah Scarlett hanya bisa menjadi diri sendiri di dekatnya? Tapi Scarlett sungguh gadis yang kelewat ‘cuek’ untuk bisa merasakan kasih sayang Rhett yang teramat besar padanya. Dengan bodohnya dia masih mengejar bayang2 Ashley Wilkes yang sudah menjadi suami Melanie Hamilton. Kenapa sih dia nggak bisa menganalisis perasaannya sendiri?

Padahal sebagai suami–Rhett kurang baik gimana coba? Dia bersedia membiayai Tara–rumah dan perkebunan keluarga O’Hara. Dia membebaskan Scarlett membeli apa saja untuknya dan keluarganya. Dia membuatkan sebuah rumah mewah dan mengadakan pesta2 sosialita untuk Scarlett. Dia juga tidak mengekang Scarlett melakukan pekerjaannya sebagai pengusaha pabrik penggergajian (padahal sangat tabu bagi wanita untuk bekerja pada masa itu). Dia bahkan menyayangi anak2 Scarlett dari pernikahannya terdahulu seperti anak2nya sendiri. Kurang apa coba, kurang apa?

Kurangnya adalah, Scarlett merasa sudah memiliki Rhett.

Scarlett hanya terobsesi pada hal-hal yang tidak bisa dimilikinya: contohnya, Ashley Wilkes yang tidak mungkin bercerai dari istrinya. Scarlett tidak bisa menghargai apa saja yang telah ia miliki. Scarlett adalah tipe orang yang tidak menyadari betapa berharganya sesuatu sebelum dia kehilangannya. Buktinya, dia baru merasa kasihan telah menyia2kan Frank Kennedy (suami keduanya) baru setelah suaminya itu tewas tertembak.

Jadi inget lagunya Passenger yang Let Her Go.

Well you only need the light when it’s burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you’ve been high when you’re feeling low
Only hate the road when you’re missin’ home
Only know you love her when you let her go

Jadi ketika di akhir cerita semuanya itu terungkap, ketika Scarlett menyadari perasaan yang sesungguhnya, semuanya sudah terlambat. Scarlett layak mendapat pelajaran pahit. Sebelum dia merasa kehilangan, dia tidak akan pernah menyadari arti memiliki.

Well, overall cerita ini berhasil merekam potret kehidupan. Banyak banget pelajaran yang bisa dipetik dari sini. Tentang perang, tentang watak manusia, tentang berdiri dan hancurnya sebuah peradaban. Kalau nggak baca buku ini, mungkin saya nggak tahu kalau Amerika Serikat pernah terlibat Perang Sipil tahun 1861-1865 (ke mana aja pelajaran Sejarah-nyaaa). Saya juga nggak tahu kalau United States of America adalah pemenang dari perang habis2an itu, dan Confederate States of America adalah pihak yang kalah/ dihapuskan. Saya mungkin juga nggak tahu kalau Amerika Serikat pernah terbagi menjadi 2 kubu, yaitu kubu “Utara” (United States) yang liberal, oportunis, anti-perbudakan, dan industrialis; serta kubu “Selatan” (Confederate States) yang konservatif, aristokratik, pro-perbudakan, dan agraris. Dua kubu itu pula yang menjadi asal mula 2 partai besar di AS, yaitu Partai Republik (Utara) dan Partai Demokrat (Selatan).

Yang jelas novel terbitan 1936 ini memang layak disebut karya sastra legendaris. Setiap susunan kalimatnya adalah karya seni yang berharga. Sejak paragraf2 awal kita pasti akan terkagum-kagum dengan kemampuan deskriptif sang penulis yang luar biasa. Film “Gone with the Wind” sudah dibuat pada 1939 dan juga menjadi selegendaris novelnya. Akhir kata, untuk Margaret Mitchell di alam sana, terimakasih sudah menciptakan Scarlett O’Hara.

Category: Random Thoughts
    • Business Management
    • Career
    • Competition
    • Family & Friends
    • Featured
    • God and Religion
    • Indonesia
    • Life's Diary
    • Ma Chung University
    • Progressive Believer
    • Random Thoughts
    • Renungan Ramadhan
    • Travel
    • Uncategorized
    • Works
    • May 2025
    • April 2025
    • May 2024
    • April 2024
    • December 2023
    • November 2023
    • August 2023
    • July 2023
    • June 2023
    • April 2023
    • February 2023
    • January 2023
    • December 2022
    • March 2021
    • August 2020
    • December 2019
    • November 2019
    • September 2019
    • March 2019
    • December 2018
    • October 2018
    • September 2018
    • July 2018
    • May 2018
    • January 2018
    • August 2017
    • April 2016
    • January 2016
    • December 2015
    • November 2015
    • October 2015
    • September 2015
    • August 2015
    • June 2015
    • May 2015
    • April 2015
    • March 2015
    • February 2015
    • January 2015
    • December 2014
    • November 2014
    • September 2014
    • August 2014
    • July 2014
    • June 2014
    • May 2014
    • April 2014
    • March 2014
    • February 2014
    • January 2014
    • December 2013
    • November 2013
    • October 2013
    • September 2013
    • August 2013
    • July 2013
    • June 2013
    • May 2013
    • April 2013
    • January 2013
    • December 2012
    • November 2012
    • October 2012
    • September 2012
    • August 2012
    • July 2012
    • June 2012
    • May 2012
    • April 2012
    • March 2012
    • February 2012
    • January 2012
    • December 2011
    • November 2011
    • October 2011
    • August 2011
    • April 2011
    • February 2011
    • January 2011
    • December 2010
    • November 2010
    • October 2010
    • September 2010
    • August 2010
    • July 2010
    • June 2010
    • April 2010
    • March 2010
    • January 2010
    • October 2009
    • July 2009
    • June 2009
    • May 2009
    • April 2009
    • March 2009
    • February 2009
    • January 2009
    • December 2008
    • November 2008
    • October 2008
    • September 2008
    © 2025 Horizon of Habibah | Powered by Minimalist Blog WordPress Theme