“Tuhan adalah saksiku, Tuhan adalah saksiku, orang-orang Yankee tidak akan menjatuhkanku. Aku akan mampu hidup melewati ini, dan ketika ini semua berakhir, aku tidak akan pernah kelaparan lagi. Tidak, begitupun keluargaku. Bahkan jika aku harus mencuri atau membunuh sekalipun–Tuhan adalah saksiku, aku tak akan pernah kelaparan lagi!”
Demikianlah Scarlett O’Hara mengucapkan sumpah yang kemudian mengubah hidupnya–dan caranya menjalani hidup. Di bawah terik matahari panas, dalam kondisi perut yang kelaparan, ia mengais-ngais sisa sayuran di kebun para budak di Twelve Oaks yang sudah hancur lebur diserang prajurit Union. Perang Sipil Amerika sungguh luar biasa memporak-porandakan hidupnya. Perkebunan kapas milik keluarganya musnah, Ibunya meninggal, ayahnya menjadi gila, kedua adik perempuannya sakit parah, dan ia punya tanggungan 9 perut (wanita, bayi, dan budak) di rumahnya yang harus diberi makan. Sejak saat itu, Scarlett O’Hara bukan lagi gadis remaja primadona yang gemar berpesta–ia adalah janda perempuan kepala keluarga yang harus berjuang mempertahankan hidupnya, tanahnya, dan keluarganya.
Pada bagian2 awal buku ini saya merasakan kekaguman luar biasa pada kegigihan sosok Scarlett. Dia adalah perempuan yang sangat kuat dan berkemauan keras untuk mencapai apa yang ia inginkan. Di saat kerabat2nya masih sibuk meratapi nasib, syok dengan kebangkrutan mendadak dan kematian sanak saudara, dia sudah bangkit dan mulai menata hidupnya. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: hidup makmur seperti sebelum perang. Ia melakukan apa saja untuk mendapatkan uang: mengais kebun, bertani, beternak, menembak seorang Yankee dan merampok mayatnya, bahkan merebut kekasih adiknya sendiri lalu menikahinya untuk menguasai hartanya. Runtuh sudah semua nilai2 luhur kebangsawanan yang dulu diajarkan ibunya. Nasib pahit perlahan telah mengubah Scarlett menjadi gadis licik nan oportunis. Ia hanya peduli bagaimana caranya agar mendapatkan banyak uang–walaupun harus menyakiti kerabat2nya dan dikucilkan masyarakat.
Margaret Mitchell menciptakan karakter Scarlett dengan begitu detail dan nyata. Tokoh ini begitu manusiawi–begitu abu-abu. Tokoh utama yang cenderung antagonis, tapi sebetulnya memiliki motif2 yang masuk akal di baliknya. Somehow, Scarlett adalah karakter yang unik. Ada beberapa hal dalam dirinya yang bisa saya pahami sepenuhnya, tapi banyak juga yang sama sekali tidak dapat dimengerti.
Orang bilang, kisah “Gone with the Wind” ini adalah salah satu cerita cinta tragis yang legendaris. Tapi bagi saya novel ini lebih seperti sepotong biografi Scarlett O’Hara, mulai umur 15 tahun sampai 28 tahun. Caranya berpikir dan perubahan karakternya tahun demi tahun begitu terasa bagi pembaca. Saya yang awalnya mengagumi ketangguhan Scarlett sebagai perempuan, seiring berjalannya cerita menjadi geregetan dengan tingkahnya yang semakin egois, namun akhirnya juga ikut merasakan sedih di akhir cerita. Ya, “nelongso” rasanya setelah mengikuti perjuangan Scarlett sepanjang 1100 halaman lebih, ternyata ending-nya dia pun belum bisa meraih kebahagiaan.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, sebetulnya Scarlett bisa merasa bahagia–hanya saja wataknya yang tidak peka menolak merasakan itu. Setelah menamatkan novel ini saya kepikiran cukup lama (sampe kebawa mimpi) kenapa gadis malang seperti Scarlett, yang sudah berjuang habis2an untuk mempertahankan hidup, harus berakhir menyedihkan seperti ini? Nggak adil banget memang. Tapi jawabannya, agaknya, terletak pada sosok Scarlett sendiri. Rasanya saya mulai paham “hikmah” apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Margaret Mitchell melalui kisahnya ini. Moral of the story is: pandai2lah bersyukur.
Kenapa? Begini alasannya.
Saat Scarlett menikah (untuk ketiga kalinya) dengan Rhett Butler, seharusnya Scarlett sudah bahagia. Ya, kalau saya jadi Scarlett, bagi saya itu sudah merupakan happy ending. Dia tidak perlu bekerja banting tulang lagi untuk menghidupi keluarganya. Dia bisa bersenang2 seperti saat sebelum perang. Rhett seorang pria kaya raya, keturunan bangsawan, tampan-gagah, dan yang terpenting, sangat memahami Scarlett apa adanya. Bukankah Scarlett sendiri merasa nyaman bersamanya? Bukankah Scarlett hanya bisa menjadi diri sendiri di dekatnya? Tapi Scarlett sungguh gadis yang kelewat ‘cuek’ untuk bisa merasakan kasih sayang Rhett yang teramat besar padanya. Dengan bodohnya dia masih mengejar bayang2 Ashley Wilkes yang sudah menjadi suami Melanie Hamilton. Kenapa sih dia nggak bisa menganalisis perasaannya sendiri?
Padahal sebagai suami–Rhett kurang baik gimana coba? Dia bersedia membiayai Tara–rumah dan perkebunan keluarga O’Hara. Dia membebaskan Scarlett membeli apa saja untuknya dan keluarganya. Dia membuatkan sebuah rumah mewah dan mengadakan pesta2 sosialita untuk Scarlett. Dia juga tidak mengekang Scarlett melakukan pekerjaannya sebagai pengusaha pabrik penggergajian (padahal sangat tabu bagi wanita untuk bekerja pada masa itu). Dia bahkan menyayangi anak2 Scarlett dari pernikahannya terdahulu seperti anak2nya sendiri. Kurang apa coba, kurang apa?
Kurangnya adalah, Scarlett merasa sudah memiliki Rhett.
Scarlett hanya terobsesi pada hal-hal yang tidak bisa dimilikinya: contohnya, Ashley Wilkes yang tidak mungkin bercerai dari istrinya. Scarlett tidak bisa menghargai apa saja yang telah ia miliki. Scarlett adalah tipe orang yang tidak menyadari betapa berharganya sesuatu sebelum dia kehilangannya. Buktinya, dia baru merasa kasihan telah menyia2kan Frank Kennedy (suami keduanya) baru setelah suaminya itu tewas tertembak.
Jadi inget lagunya Passenger yang Let Her Go.
Well you only need the light when it’s burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you’ve been high when you’re feeling low
Only hate the road when you’re missin’ home
Only know you love her when you let her go
Jadi ketika di akhir cerita semuanya itu terungkap, ketika Scarlett menyadari perasaan yang sesungguhnya, semuanya sudah terlambat. Scarlett layak mendapat pelajaran pahit. Sebelum dia merasa kehilangan, dia tidak akan pernah menyadari arti memiliki.
Well, overall cerita ini berhasil merekam potret kehidupan. Banyak banget pelajaran yang bisa dipetik dari sini. Tentang perang, tentang watak manusia, tentang berdiri dan hancurnya sebuah peradaban. Kalau nggak baca buku ini, mungkin saya nggak tahu kalau Amerika Serikat pernah terlibat Perang Sipil tahun 1861-1865 (ke mana aja pelajaran Sejarah-nyaaa). Saya juga nggak tahu kalau United States of America adalah pemenang dari perang habis2an itu, dan Confederate States of America adalah pihak yang kalah/ dihapuskan. Saya mungkin juga nggak tahu kalau Amerika Serikat pernah terbagi menjadi 2 kubu, yaitu kubu “Utara” (United States) yang liberal, oportunis, anti-perbudakan, dan industrialis; serta kubu “Selatan” (Confederate States) yang konservatif, aristokratik, pro-perbudakan, dan agraris. Dua kubu itu pula yang menjadi asal mula 2 partai besar di AS, yaitu Partai Republik (Utara) dan Partai Demokrat (Selatan).
Yang jelas novel terbitan 1936 ini memang layak disebut karya sastra legendaris. Setiap susunan kalimatnya adalah karya seni yang berharga. Sejak paragraf2 awal kita pasti akan terkagum-kagum dengan kemampuan deskriptif sang penulis yang luar biasa. Film “Gone with the Wind” sudah dibuat pada 1939 dan juga menjadi selegendaris novelnya. Akhir kata, untuk Margaret Mitchell di alam sana, terimakasih sudah menciptakan Scarlett O’Hara.