To read before: Tak Akan Lari Puncak Dikejar (1)
Gagal mencapai puncak, bukan berarti kami kehilangan semangat. Turun dari Gunung Lawu, kami sudah merencanakan untuk berwisata ke Cemoro Sewu dan Telaga Sarangan. Perjalanan “turun gunung” terasa lebih menyenangkan karena semua tim dalam kondisi sehat setelah beristirahat semalam. Rombongan kami juga ketambahan 2 pendaki gokil asal Kediri yang gak henti2nya mencairkan suasana dengan tingkah “absurd” mereka.
Di sebuah jalur batu yang cukup curam, mendadak kami dikejutkan oleh kedatangan seorang ibu tua. Beliau memikul bakul yang cukup berat sambil menawarkannya kepada kami. Ternyata, ibu itu adalah seorang penjual nasi. Bakulnya berisi aneka barang dagangan: gorengan, nasi bungkus, dan minuman instan. Sungguh luar biasa perjuangan ibu ini: di usia yang tak lagi muda, beliau masih kuat mendaki gunung sambil memikul beban berat demi mencari penghidupan.
Kami pun berhenti sejenak untuk menikmati dagangan sang ibu. Gorengan yang sedikit keras terkena udara dingin, mencerminkan betapa kerasnya perjuangan beliau. Menurutnya, telah lama beliau berjualan makanan kepada para pendaki Gunung Lawu. Setiap hari jam 7 pagi beliau berangkat mendaki. Saat musim mendaki (17 Agustus dan Suroan), ada lebih banyak ibu2 yang berjualan seperti dirinya. Namun di hari biasa, beliau adalah satu2nya. Saya pun teringat pada Mbok Yem, pemilik warung nasi di pos 5 yang gagal kami sambangi. Dengan keberhasilannya mendirikan warung di puncak gunung, mungkin Mbok Yem telah mencapai “puncak karier” sebagai penjual makanan bagi para pendaki. Inilah uniknya Gunung Lawu 🙂
Setelah istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan. Mas Yogi, pendaki Kediri yang gokil tapi lembut hatinya, menyelipkan tip selembar uang merah bergambar Soekarno-Hatta ke tangan si ibu. Alhamdulillah, rejekinya ibu ya 🙂 Sesampainya di kaki gunung, kami makan siang bersama sebelum berpisah jalan.
Selepas Zhuhur, ayah Lila datang menjemput kami. Segera kami tancap gas menuju perkebunan stroberi. Letaknya persis di seberang gerbang pendakian Cemoro Sewu. Kita bisa memetik stroberi sepuasnya…gratisss. Asalkan stroberi hasil petikan tadi dibeli…hehe jumlahnya minimal 5 ons. Harga per ons Rp 6.000. Kalau stroberi yang dipetik kurang dari 5 ons, nanti ditambahi oleh ibu penjualnya sampai 5 ons.
Puas berlagak petani stroberi, kami lanjut ke spot berikutnya yaitu Telaga Sarangan. Telaga ini adalah telaga alami di kaki Gunung Lawu yang telah lama populer sebagai jujugan wisata. Dengan luas sekitar 30 hektar, figurnya membentang bagaikan ceruk air raksasa di antara pegunungan. Airnya yang berwarna hijau menyatu sempurna dengan vegetasi rapat di sekitarnya. Di tepian telaga tampak berderet-deret perahu cepat (boat) dan sepeda angsa. Kami berlima memutuskan untuk menyewa satu boat seharga Rp 50.000 per putaran untuk mengelilingi telaga. Satu boat bisa muat untuk 5-6 orang (exclude sopir boat).
Pengalaman naik boat ini seru sekali 😀 Sang sopir yang sudah berpengalaman akan membawa kita mengelilingi telaga dengan hentakan2 asyik. Entah bagaimana telaga Sarangan ini punya arus gelombang yang cukup kuat. Ditambah kepiawaian sopir meliuk-liukkan boat-nya, rasanya jadi seperti naik jet ski di pantai. Kami para cewek tak henti2nya berteriak heboh. Wajib dicoba deh pokoknya 😀 (Tips: kalau sewa boat langsung 3 putaran dapat diskon jadi Rp 130.000)
Puas naik boat, kami berjalan kaki mengelilingi telaga. Sebetulnya kita bisa menyewa kuda, tapi jalan kaki lebih seru (dan murah) pastinya. Di sekeliling telaga banyak dijumpai warung2 yang menjual makanan khas Sarangan yaitu Sate Kelinci. Harganya murah, cuma Rp 10.000 per 10 tusuk. Di atas deretan warung tersebut, ada perbukitan dengan vegetasi rapat. Kita masih bisa menjumpai kawanan monyet hutan yang bergelantungan di pohon.
Lelah berjalan, kami memutuskan untuk beristirahat di salah satu warung lesehan dan memesan sate kelinci. It was a perfect place: duduk lesehan di tepi telaga sambil mengobrol dan menikmati pemandangan. Belum lagi ditemani gurihnya sate kelinci dengan citarasa bumbu kacang pedas-manis yang lezat… Asik deh pokoknya 😀 (Buat yang belum pernah makan, tekstur daging kelinci ada di antara daging ayam dan daging kambing, jadi pas lah)
Pulang dari Sarangan, kami mampir untuk membeli buah yang bikin penasaran: kabocha namanya. Katanya buah ini juga baru2 ini happening ditanam di lahan sekitar Telaga Sarangan. Warnanya oranye cerah dan sungguh mencolok mata. Perawakannya seperti labu (waluh), hanya saja ukuran lebih kecil dan warna jingga terang. Harganya Rp 10.000 per kg. Bisa dibuat kolak, campuran agar2, dll. IMHO, saat dikolak teksturnya lebih padat dari waluh hingga cenderung seperti ubi…tapi enaaakkk 🙂
Setelah mandi dan beberes di rumah Lila di Ngawi (perbatasan dengan Magetan), kami pamit pulang. Berterimakasih sama ortu Lila karena sudah dipersilakan menginap semalam sebelum kami berangkat ke Lawu kemarin, juga sudah diantar jemput ke sana kemari. Berhubung hari sudah malam, sebelum balik Malang, Irul, Yusup, dan saya mampir menginap di rumah neneknya di Madiun. Kami kulineran pecel Madiun di malam hari bersama pakliknya. Paginya kami bertiga jalan2 di pasar dekat rumah dan ketemu makanan lucu, namanya gendhis; bola2 tepung beras dengan kuah santan asin. Harganya muraaahhh, cuma Rp 1.000 per bungkus. Plus kudapan jagung pipil rebus bersawut kelapa parut dibungkus daun pisang, harganya cuma Rp 500 saja. Betapa uang jauh lebih berharga di desa 😮
Siangnya kami pulang ke Malang, sampai rumah sekitar jam 7 malam. Selesai sudah perjalanan Gunung Lawu selama 14-17 Agustus 2014. Semoga berikutnya masih diberi kesempatan untuk mencapai puncak yang lain. Semangaaattt!!! 😉
1 thought on “Tak Akan Lari Puncak Dikejar (2)”