Aroma ikan cakalang asap menyeruak di tengah malam yang dingin. Tiga pemuda dan seorang pria paruh baya duduk lesehan di pelataran kelas sebuah sekolah. Dengan wajah ramah, Pak Nurul, pria paruh baya itu, mempersilakan para tamunya untuk menikmati hidangan lezat yang dimasak istrinya. “Sambalnya ini yang mantap,” ujarnya setengah promosi sambil menyodorkan sepiring sambal kacang dengan irisan cabai yang menggugah selera. Dengan penuh semangat, ketiga pemuda yang menjadi tamunya menyantap sajian makan malam yang jarang mereka nikmati itu.
Ikan cakalang adalah salah satu makanan khas Pulau Mamburit, pulau kecil yang terletak nun jauh di sebelah timur Pulau Madura. Pulau ini termasuk dalam gugusan Kepulauan Kangean yang terletak 10 jam perjalanan laut dari pelabuhan Kalianget, Sumenep. Dengan luas 8 hektar, Pulau Mamburit dihuni oleh sekitar 600 KK dengan jumlah penduduk hampir 2.000 orang. Mayoritas penduduknya hidup sederhana dari hasil melaut atau berkebun. Di siang hari, pulau dengan pantai dan taman laut yang indah ini bahkan tidak dialiri listrik dari PLN.
Malam itu, Pak Nurul tampak begitu senang menerima kedatangan para tamunya. Ketiga pemuda tersebut adalah pelancong alias backpacker dari Pulau Jawa yang datang untuk menikmati keindahan alam bawah laut Pulau Mamburit. Pak Nurul sendiri dulunya adalah seorang guru senior yang telah puluhan tahun mengajar di SDN Kalisangka 2, satu-satunya sekolah yang ada di pulau tersebut. Rumah kediaman beliau juga terletak di dalam kompleks sekolah. Namun karena suatu masalah internal, Pak Nurul dipindahtugaskan ke Sekolah Dasar lainnya di Pulau Kangean.
Di antara gemerisik daun pepohonan yang tertiup angin laut, Pak Nurul sedikit demi sedikit menceritakan kisahnya. “Jumlah murid di sini 136 orang mas, totalnya ada 6 kelas. Tapi gurunya cuma 5 orang, sudah termasuk kepala sekolah. Semuanya orang Kangean. Setiap hari mereka berangkat naik perahu menyeberang ke Mamburit. Kalau lancar tidak kena ombak, jam 8 baru sampai sekolah, jam 8.15 baru mulai mengajar, dan jam 11 sudah dibubarkan,” paparnya dengan wajah prihatin.
Pak Nurul mengaku dahulu dirinyalah satu-satunya guru asal Mamburit yang mengajar di SD tersebut. Jika guru lainnya belum datang, beliau lah yang menangani murid kelas-kelas lain. “Sekarang setelah saya dipindah, anak-anak jadi semakin terlantar,” tuturnya dengan nada sedih.
Dedikasi Pak Nurul dalam mengajar murid-muridnya tampak tak perlu diragukan lagi. Beliau berprinsip untuk mendidik mereka melalui keindahan seni. Berulang kali beliau membuat sendiri karya seni berupa puisi, lukisan, dan musik sebagai sarana pendidikan bagi para siswanya. “Pernah saya buat lukisan pemandangan alam sepanjang 5 meter, lalu ditanya oleh pengawas ‘untuk apa Bapak membuat lukisan ini?’ Saya jawab, ini kan juga media pembelajaran. Di lukisan ini ada sawah, gunung, sungai…masak anak-anak harus dibawa langsung ke sana, di Mamburit kan hanya ada laut. Lewat lukisan ini anak-anak jadi tahu objek alam yang lain,” kenangnya.
Pak Nurul juga pernah mendirikan orkes musik untuk para muridnya. Di situ beliau mengajari mereka bermain gitar hingga bisa mengadakan pentas musik sendiri. Beliau juga kerap mengadakan kegiatan perkemahan seperti Persami di halaman sekolah. “Anak-anak semangat kalau diajak kemah, buat api unggun begitu,” ujarnya. Sayangnya, langkah itu sempat ditentang oleh pihak manajemen sekolah yang memiliki konflik dengan dirinya. Meski begitu, beliau bersikeras mengadakan kegiatan tersebut bahkan dengan menggunakan dana pribadi.
Secara umum, kondisi pendidikan di Pulau Mamburit tidak dapat dikatakan baik. Untuk melanjutkan sekolah, para siswa SD Mamburit harus menyeberang ke SMP yang hanya ada di Pulau Kangean. Sebetulnya beberapa tahun lalu sempat didirikan SMP yang bangunannya menjadi satu dengan SD di Pulau Mamburit. Namun SMP itu kemudian dibubarkan sehingga anak-anak harus melanjutkan SMP ke Pulau Kangean.
“Sebetulnya murid di sini itu pintar-pintar mas,” katanya dengan sungguh-sungguh. “Pernah ada guru SMP di Kangean bilang begitu. Murid saya banyak yang dapat ranking di sana. Cuma ya itu, sayang waktu SD belajarnya kurang maksimal. Padahal aslinya mereka IQ-nya bagus. Kan sering makan ikan. Ibaratnya, sudah ada wadahnya cuma tidak pernah diisi.”
Pak Nurul mengeluhkan tindakan pihak manajemen sekolah yang dianggapnya mengganggu proses pembelajaran dan berpotensi membunuh karakter anak didik. Adanya pungli biaya, kekerasan verbal, dan pembatasan kreativitas pengajar menjadikan proses pembelajaran di satu-satunya sekolah di Pulau Mamburit itu kurang maksimal. Meskipun sudah tidak lagi mengajar di SD tersebut, Pak Nurul masih menaruh kepedulian tinggi terhadap proses pembelajaran di sekolah yang telah menjadi tempatnya mengabdi sejak baru lulus kuliah itu.
“Harapan saya, semoga saja ada pemerhati pendidikan lain yang mau peduli dengan kondisi di sekolah ini,” tuturnya mengakhiri kisahnya. Pak Nurul hanyalah satu dari sekian banyak pendidik idealis lainnya yang rela mengabdi di pulau-pulau terpencil demi mendidik putra bangsa. Pulau Mamburit saja, yang masih termasuk ke dalam wilayah Jawa Timur, masih menyimpan potret pendidikan yang memprihatinkan. Bagaimana dengan sekolah-sekolah lain di pulau-pulau yang lebih terpencil? Sudah saatnya kita memberi perhatian khusus pada pendidikan di daerah pelosok Indonesia.
***
Keterangan:
*) Tulisan ini dibuat pada 26 Agustus 2014 untuk memenuhi amanah beliau. Selamat berjuang Pak!