This piece has been posted on LinkAja Official Medium Account, check it out here!
“Nak, itu namanya uang…”
Si Ibu menatap bocah SD di depannya setengah geli.
“Uang kok kayak gini, Bu?” tukas si bocah yang ternyata bernama Rayhan. “Uang kan yang ada di HP Bu.” Lalu si bocah menyodorkan smartphone-nya. Tampilan layar menunjukkan aplikasi digital payment berlogo merah cerah, bertuliskan “LinkAja”.
“Iyaa itu juga uang Nak. Uang elektronik. Kalau yang iniii………uang kertas namanya.” Si Ibu menunjuk pada lembaran kertas kemerahan bergambar wajah Soekarno-Hatta yang tadi dipertanyakan anaknya.
“Wow, jadi jaman dulu orang kalau jajan pake kertas gini ya Bu? Apa gak sobek ya? Gak lecek gitu? Gak kotor gitu Bu kalau dikasih-kasih ke orang banyak?” Rayhan menyerocos dengan sejuta pertanyaan ala anak kecil.
Si Ibu hanya tertawa. “Jaman dulu uang ya begini semua Nak. Malah ada yang dari logam juga. Kalau ada orang bayar pakai uang elektronik di HP malah yang jualan bingung, takut dikira penipuan.”
“Wah ribet ya Bu orang jaman dulu. Masa ke mana-mana bawa kertas dan logam!” Rayhan tak habis pikir, betapa rempong-nya manusia-manusia “zaman purba” itu.
“Yaa dulu kan ada dompet…”
“Apalagi tuh Bu?”
“Yaa itu tempat nyimpen uang kertas dan logam…”
Si bocah yang hidup di zaman cashless makin melongo mendengar cerita ibunya. “Gak praktis banget ya Bu! Padahal di HP aja kan semua bisa. Gak kuatir jatuh, gak berat pun. Lebih praktis dan aman pula. Bayar semua-mua bisa!”
Si Ibu hanya tertawa mendengar ocehan anaknya. Masih teringat di benaknya sekitar 10 tahun yang lalu, saat ia masih menjadi karyawan di sebuah perusahaan fintech start-up… Betapa sulitnya meyakinkan orang-orang untuk menggunakan uang elektronik. Betapa mereka justru menganggap uang elektronik itu ribet dan sulit. Betapa uang kertas yang kucel, penuh kuman, dan rawan penggelapan masih jadi primadona untuk bayar apa saja.
Padahal, dana yang dikeluarkan untuk mengelola uang kertas/logam bukanlah dana yang sedikit. Perusahaan harus membayar kasir untuk menghitung uang secara manual, harus menyediakan pecahan kembalian, menyiapkan brankas, bahkan menanggung risiko dibobol maling atau dikorupsi karyawan sendiri. Semua itu adalah ongkos yang mahal. Namun saat ditawari menggunakan alat pembayaran cashless yang hanya dikenakan fee administrasi sedikit, para pengusaha itu protesnya setengah mati. Mereka tidak memperhitungkan cost/benefit yang diperoleh, bahwa secuil fee itu tidak sebanding dengan biaya cash handling management yang selama ini mereka tanggung.
Karena kesulitan itu lah, pada masa awal pengenalan uang elektronik, para penyedia jasa berlomba-lomba memberikan promo (diskon dan cashback) untuk setiap pembayaran. Tujuannya apa? Tentu saja menarik minat pelanggan untuk mencoba menggunakannya. Tidak heran jika uang elektronik selalu identik dengan promo. “Kalau bayar pakai xxx dapat promo apa ya? Kalau bayar pakai yyy diskon nggak?” Seolah aneh rasanya kalau ada uang elektronik yang tidak promo-oriented. Lama-lama masyarakat jadi memiliki kesan…buat apa pakai uang elektronik kalau gak ada promonya?
Untungnya salah kaprah itu segera diperbaiki dengan kehadiran uang elektronik lintas generasi: LinkAja. Sebelum kehadiran LinkAja, uang elektronik identik dengan anak muda dan orang kota. Uang elektronik identik dengan alat promo saja, bukan alat pembayaran. Uang elektronik identik dengan gaya hidup konsumtif dan foya-foya.
Namun setelah LinkAja hadir di masyarakat, persepsi orang terhadap uang elektronik mulai berubah. Uang elektronik bukan hanya milik anak muda dan orang kota dengan ponsel canggih mereka, tetapi juga milik orang tua dan warga desa yang hanya memiliki ponsel hitam-putih. Karena LinkAja tidak hanya bisa diakses via aplikasi ponsel internet, tetapi juga via USSD yang hanya mengandalkan tombol angka dan jaringan selular.
Dengan LinkAja, uang elektronik bukan hanya alat foya-foya, tetapi alat untuk menyalurkan bantuan pemerintah kepada warga negara yang membutuhkan. Dengan LinkAja, uang elektronik tidak hanya eksis di mall, tetapi juga di pom bensin dan loket kereta. Dengan LinkAja, uang elektronik bukan sekadar jualan diskon, tetapi ekosistem pembayaran yang utuh dan menyeluruh, yang turut meningkatkan perekonomian Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
LinkAja telah mengubah wajah Indonesia. Para pedagang dan pengusaha yang dulu anti dengan uang elektronik, kini berlomba-lomba menggunakannya. Para pelanggan yang dulu hanya mengejar promo, kini dengan sukarela memakainya. Perlahan kenangan si Ibu pun kembali ke masa kini, tahun 2029, sepuluh tahun kemudian…ketika uang kertas telah sama sekali menghilang dari peredaran. Bahkan anak lelakinya pun, terheran-heran melihat ‘uang kuno’ yang masih bisa dipegang. Sungguh zaman telah banyak berubah…dan si Ibu tidak dapat menahan kebanggaan dalam dirinya, bahwa ia pun telah turut menjadi bagian dari perubahan itu… 😊
***
Semarang, 23 September 2019
untuk Rayhan Anggara Senja