Dari semua laki-laki yang saya pernah jatuh cinta, suami saya bukanlah salah satunya. Padanya saya tidak “jatuh” cinta, tetapi dengan sadar menumbuhkan, merawat dan memelihara cinta itu bersama-sama. Padanya saya cinta dengan sengaja, bukan tanpa sadar dan tiba-tiba. Tidak ada jantung yang jungkir balik atau “kupu-kupu di dalam perut” saat bertemu. Saya memutuskan untuk menikah dengannya karena secara logis, dialah orang yang paling cocok untuk membangun keluarga bersama…
Dalam membina jalinan kerjasama seumur hidup seperti pernikahan, kita tidak bisa hanya mengandalkan emosi sementara. Harus ada pertimbangan layak tentang kompatibilitas, yang pasti akan mempengaruhi kualitas kehidupan kita dalam jangka panjang. Bisakah kamu menerima kekurangan terbesarnya? Bisakah kamu merasa nyaman di dekat keluarga dan teman-temannya? Bisa kamu mempercayakan keputusan2 besar dalam hidupmu kepadanya? Semuanya harus dipikirkan secara matang dengan akal sehat. Sedangkan saat jatuh cinta, kamu tidak punya logika. Otakmu dibutakan oleh perasaan yang menggebu-gebu sehingga sulit untuk menilai pasanganmu secara rasional.
Pada akhirnya pernikahan memang akan terasa membosankan. Menikah itu seperti membangun bisnis, harus ada disiplin dan kerja keras dari semua pihak. Bayar cicilan, mengurus anak, kegiatan sosial… Lama2 pasanganmu memang akan terasa seperti rekan kerja daripada pacar. Tapi kalau dipikir-pikir… rutinitas apa sih yang gak membosankan? Semua tugas dan kewajiban itu kan memang sesuatu yang harus dilakukan, walau sebosan apapun. Karena rutinitas itu adalah hasil penyempurnaan bertahun-tahun yang telah mencapai “kesuksesan”nya sehingga dapat menjadi sebuah sistem yang teratur. Saat kamu mau menghentikan rutinitas itu hanya karena “bosan”, yang terjadi adalah chaos. Hidupmu akan seketika jungkir balik bahkan bisa hancur kehilangan keseimbangan. Kamu pun harus mulai berjuang menata hidupmu lagi dari awal. Yaa itu baru namanya “tantangan” yang “tidak membosankan” hehe begitukah yang diinginkan 🙂
Itulah mengapa kita tidak selalu membutuhkan cinta (romantis) untuk menikah. Cinta romantis itu bikinan Hollywood saja biar produk budaya mereka laris manis 🙂 Sebetulnya yang paling kita butuhkan dalam pernikahan itu adalah sahabat, seseorang yang kamu nyaman tinggal dan bekerja bersama SEUMUR HIDUPMU. Itu lama banget loh…
Ada sebuah kutipan dari series Game of Thrones yang sangat membekas dan membuat saya makin percaya bahwa pernikahan bukanlah (hanya) tentang cinta.
“Your father didn’t love me when we married. He hardly knew me or I him. Love didn’t just happen to us. We built it slowly over the years, stone by stone, for you, for your brothers and sisters, for all of us. It’s not as exciting as secret passion in the woods, but it is stronger. It lasts longer.” (Catelyn Stark tentang pernikahannya dengan Ned Stark, 15 tahun dan 5 anak).
Dua kalimat terakhir menampar saya. Memang sih…asmara yang menggebu-gebu itu sangat menarik di awal. Jantung berdebar-debar, kupu-kupu yang melonjak di perut saat melihatnya, terasa rindu saat jauh darinya, tak henti-henti memikirkan dia kapanpun di manapun… Gejalanya mirip orang sakit tapi anehnya, kita sangat menikmatinya sampai bikin ketagihan :’) Tapi yakinlah…itu semua akan memudar seiring waktu. Lalu ketika debar2 itu hilang, akankah kamu mengingkari janji sucimu hanya karena “sudah gak ada rasa lagi”? Akankah kamu nikah-cerai terus seumur hidup setiap kali jatuh cinta pada orang baru?
Sesungguhnya dalam pernikahan, sangat mungkin kita jatuh cinta pada orang lain yang bukan pasangan kita. Menikah itu kan seumur hidup… Dalam rentang waktu selama itu, pastinya kita bertemu banyak orang baru entah di lingkungan rumah, kantor, atau aktivitas sosial lainnya. Mungkin sekali di antara mereka ada yang kebetulan intens berhubungan dengan kita, sehingga menimbulkan rasa nyaman dan gejala jatuh cinta seperti di atas. Tidak salah kok, jatuh cinta itu perasaan manusiawi dan sulit dicegah. Namun apakah kita harus mewujudkan perasaan itu dalam suatu hubungan di luar pernikahan? Itu lain perkara. Sangat disayangkan jika pernikahan yang sudah dibangun bertahun-tahun, kandas hanya karena gairah romansa sesaat…
Jujur saja, saya menyadari punya kecenderungan aneh untuk ‘jatuh cinta pada orang yang tak bisa dimiliki’. Entah itu pria berbeda agama dan budaya, pria dengan latar belakang problematik, bahkan pria yang sudah menjadi milik orang lain. Agak gila memang. Mungkin sebetulnya saya tidak benar2 jatuh cinta pada mereka, hanya menyukai sensasi ‘terlarang’nya saja yang memancing rasa penasaran pada jiwa haus petualangan :’) Itu salah satu alasan mengapa saya tidak menikah saat sedang jatuh cinta. Saya tidak bisa mempercayai perasaan sendiri yang labil dan mudah berubah. Hal terpenting, saya tidak mau salah memilih sosok ayah untuk anak2 saya, hanya karena perasaan sesaat. Saya mungkin bisa berpisah dengan pasangan, tetapi anak2 saya akan “terkutuk” selamanya memiliki ayah yang problematik… dan itu adalah hal terjahat yang dilakukan seorang ibu.
Suami saya saat ini adalah teman SMA yang sudah lama saling kenal. Kami berasal dari kota yang sama, dengan latar belakang keluarga yang mirip, dan tentunya dia seorang family man dengan kepribadian luar biasa. Terbukti dia bisa ‘menjinakkan’ saya yang perilakunya kasar liar dan menyebalkan saat masih gadis, menjadi sosok wanita yang lebih behave. Saya sendiri sadar bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik selama lima tahun bersamanya. Jadi…saya yakin telah memilih pria yang tepat. Anak lelaki saya bisa mendapatkan ayah terbaik. Orang tua dan adik2 saya bisa memiliki anak lelaki dan kakak lelaki penyayang yang belum pernah mereka punya. Saya pun bisa memiliki mertua dan adik2 ipar yang siap mendukung kami seperti keluarga sendiri.
Walaupun saya tidak pernah jatuh cinta tergila-gila pada suami saya, namun perasaan sayang saya tumbuh perlahan-lahan seiring waktu…dan mudah2an seperti yang dikatakan Catelyn Stark: menjadi lebih kuat dan bertahan lebih lama.
Versi berbahasa Inggris dari tulisan ini dapat dibaca di sini.