Jujur enggak nyangka 2022 bakalan super melelahkan jiwa. Pergi ke berbagai tempat, ketemu bermacam2 orang, bergonta-ganti kerjaan dalam waktu singkat. Belum pernah saya merasakan emosi campur aduk se-intens ini…mungkin sejak si bocil lahir ya. Bagaimanapun, saya senang karena perasaan jungkir balik ini telah membuatku bisa mengurai benang ruwet di dalam diri dan menemukan semangat baru yang telah lama hilang. Saya senang karena untuk pertama kalinya setelah menikah dan punya anak, saya bisa bermimpi lagi. Kali ini mimpiku sendiri, bukan demi suami, anak, atau keluarga…
Selama lima tahun belakangan, saya berusaha hidup sebagaimana ekspektasi masyarakat terhadap seorang istri dan ibu: “mengorbankan” dirinya demi memprioritaskan keluarga. Saya pindah lokasi kerja dari Jakarta ke Semarang-Jogja, berhenti menargetkan prestasi di pekerjaan, juga tidak berupaya meningkatkan professional skills. Yah… gak sepenuhnya ‘berkorban’ sih karena toh itu semua saya lakukan secara sukarela tanpa paksaan siapapun, bahkan suami sendiri. Karena memang sejak dulu hidup berkeluarga adalah salah satu mimpi terbesar saya. Namun yang tidak disadari, ternyata jalan untuk meraih satu mimpi itu diiringi dengan matinya mimpi yang lain. Sungguh tidak menyangka bahwa lima tahun setelah pernikahan, saya ‘terdampar’ sebagai karyawan cungpret biasa, tertinggal dari kawan2 sebaya, dan terjebak di pekerjaan yang tidak disukai.
Tentu saja saya tidak menyesal menikah dan punya anak. Itu hal terbaik yang terjadi di hidup saya. Menjadi istri dan ibu telah mengubah kepribadian saya menjadi jauh lebih matang, membuat lebih dewasa secara emosional, dan meningkatkan ketrampilan bergaul. Tapi jujur, ada perasaan bersalah karena menyerah terlalu dini dalam hal karir. Hidup berkeluarga seharusnya tidak mencegahmu berkembang secara profesional. Itu hanya berarti kamu harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas untuk menyeimbangkan karir dan keluarga. Saya mungkin terlalu naif dan terlalu malas untuk memperjuangkan keduanya…
Pernah dengar tentang ‘Law of Attraction’? Bahwa jika kamu benar2 menginginkan sesuatu dan selalu membayangkannya di kepalamu… Semesta akan menangkap ‘sinyal’mu dan mengabulkannya? Sangat sederhana sekaligus sangat mencengangkan. Saya percaya sekali dengan teori ini dan telah menerapkannya sejak kuliah. Beasiswa, studi di luar negeri, pekerjaan, perlombaan, organisasi, bahkan bisnis sampingan. Dulu saya memang seorang gadis ambisius (dan menyebalkan) yang selalu mengejar prestasi.
Namun ternyata, mimpi2 itu benar2 terjadi. Bahkan keinginan yang lebih personal seperti pacar, pernikahan dan anak. Saya menetapkan target umur untuk setiap milestones kehidupan, dan ternyata semua itu betul2 terkabul. Pekerjaan pertama di umur 22, kuliah di UK dengan beasiswa di umur 24, pekerjaan baru di umur 26, menikah di umur 27, dan punya anak di umur 28. Semuanya seolah “klop”… indah pada waktunya, persis seperti yang sudah direncanakan.
Begitu luar biasa dampak ‘Law of Attraction’ yang terjadi di hidup saya…Tapi jujur setelah punya anak, saya sudah tidak menerapkannya lagi. Saya tidak lagi menargetkan milestones seperti dulu. Saya membiarkan semuanya mengalir begitu saja… Karena sadar bahwa Umi tidak lagi seorang diri. Sedikit banyak, suami dan anak memiliki hak atas diriku. Dan yang terpenting, punya anak laki2 adalah mimpi terbesar saya (saat itu). Saya tidak punya keinginan lain selama anakku sehat dan bahagia…
Namun manusia bisa berubah, termasuk saya. Tampaknya keruwetan hidup di 2022 telah meninggalkan bekas luka yang dalam di hati, cukup kuat hingga mengubah cara pandang dan bahkan keinginan saya. Saya tidak lagi menginginkan kehidupan bersama keluarga di kota kecil yang selo. Semarang sudah terasa membosankan…seperti tak ada lagi yang bisa saya lakukan di sini. Jauh di dalam hati, api itu masih menyala. Saya tidak bisa mengabaikan passion sendiri. Saya tidak bisa cuek pada energi meluap-luap untuk mengaktualisasikan diri pada bidang yang disukai. Saya tidak lagi bisa legowo mengerjakan sesuatu yang memprihatinkan hanya demi bertahan di zona nyaman.
Pada 2023, saya akan lebih nekat.
Bagaimana dengan suami dan anak? Suami tahu betapa kecewanya saya dengan kondisi karir sekarang. Dia pun sedang mengejar sebuah mimpi…yang sangat saya dukung. Jujur kami berdua memang bekerja ‘santai’ dan seadanya selama 5 tahun belakangan, terutama karena kami memprioritaskan pengasuhan Rayhan. Perkembangan fisik dan mental balita akan maksimal saat kedua orangtuanya hadir secara penuh, bukan? Sekarang Rayhan sudah jadi bocah 4 tahun yang sehat, lucu dan sangat pintar…tidak sia2 yang telah kami lakukan sebagai orangtua. Mungkin sekarang saatnya kami lebih memperhatikan diri sendiri, tentunya tanpa mengabaikan kebutuhan emosional Rayhan…
Pada akhirnya, beberapa minggu lalu saya telah menuliskan semua keinginan di 2023. Saya membayangkannya sejelas mungkin berulang kali. Saya menyebut-nyebutnya terus pada setiap doa sujud terakhir. Saya percaya ‘Law of Attraction’ akan bekerja kembali. Apapun yang akan terjadi, saya tidak akan menyesalinya. Paling tidak, saya telah berhasil mengambil keputusan dengan tegas, dan itu saja sudah merupakan kemenangan bagi saya…
Versi berbahasa Inggris dari tulisan ini bisa dibaca di sini.
1 thought on “Selamat Datang 2023”