Karangwidoro, itulah nama sebuah desa yang terletak di belakang kampus saya. Meskipun letaknya relatif di daerah perbukitan, tetapi ini adalah desa yang kering dan tandus. Kata dosen saya sih, daerah sekitar kampus ini memang dikenal ‘sulit air’. Kampusku? Enggak lah, kan punya sumur bor dan tandon yang besar ๐ Tapi, desa di belakang itu, sayangnya tidak seberuntung institusi besar tempat kami bernaung ini…
Pada musim kemarau desa ini mengalami kekeringan, tapi pada musim hujan diterjang banjir sehingga air menjadi keruh. Bahkan, Karangwidoro pernah mengalami bencana banjir lumpur kiriman pada tahun 2002 hingga menyebabkan 1 orang tewas, 65 unit rumah rusak, 6 DAM jebol dengan total kerugian mencapai 2,9 milyar rupiah. Alhamdulillah, saat ini banjir bandang tidak terjadi lagi karena warga sudah membangun “sodetan” sehingga air hujan mengalir ke Kali Metro. Meski begitu kondisi lingkungan di desa masih rentan karena tanah jarang ditanami pepohonan…
Pada semester 3, saya dan teman-teman satu kelompok mentoring mengadakan analisis sosial (ansos) di desa ini. Awalnya sih memang cuma tugas mata kuliah Character Building 3, tapi ternyata setelah wawancara sana-sini dengan Pak Kades (Kepala Desa), Pak Kadus (Kepala Dusun), dan perangkat desa lainnya, kami jadi tahu bahwa desa yang jaraknya tinggal loncat tembok belakang kampus sangat dekat ini punya cerita yang cukup menarik.
Pak Suwaji, sang kepala desa, bercerita bahwa desa ini dulunya pernah dilanda kekurangan air bersih. Saat itu untuk mendapat air bersih warga harus membayar Rp 1.500 per jerigen. Bayangkan! Padahal, menurut Walhi Sumsel rata-rata kebutuhan air per orang minimal 30 liter per hari. Sekitar 5 liter untuk minum dan 25 liter untuk sanitasi. Jika 1 jerigen hanya berisi 5 liter air, hitung saja berapa uang yang harus dikeluarkan para penduduk Desa Karangwidoro untuk memenuhi kebutuhan air sekeluarga secara layak??? :-S
Padahal penduduk Desa Karangwidoro rata-rata berprofesi sebagai kuli/tukang batu yang hanya mendapat Rp 30.000 – Rp 40.000 per hari, atau petani yang hanya panen 1 kali dalam setahun karena sulitnya irigasi. Tentunya kebutuhan air bersih hanya menjadi prioritas kesekian dibanding kebutuhan yang lebih utama seperti makan sehari-hari. Akibatnya, tingkat kebersihan dan kesehatan penduduk bisa menurun.
Untungnya, pada tahun 2006 desa mendapat bantuan dari SAAT (Sekolah Alkitab Asia Tenggara)–yang kebetulan berlokasi di dekat desa tersebut–untuk proyek pengadaan air bersih dengan sistem pipanisasi. Sumber air berasal dari hutan di arah barat desa, sejauh 10 km dari perbatasan Karangwidoro. Air ini lalu dialirkan ke tandon besar di perbatasan desa. Distribusi air dari tandon ke rumah-rumah warga dilakukan secara swadaya. Harga air untuk pengairan sebesar Rp 200.000 รขโฌโ Rp 300.000 untuk beberapa petak sawah sedangkan untuk rumah tangga sebesar Rp 500/m3 .
Di kemudian hari, tepatnya pada saat semester 4, kami sekelompok berkesempatan untuk membantu warga desa dalam pelestarian sumber air mereka. Mau tau cerita serunya? Baca di postingan selanjutnya yaa ๐
Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi WEB Kompas MuDA & AQUA yang diselenggarakan oleh Kompas MuDA
2 thoughts on “Sumber Air Desa Karangwidoro (Part 1)”