Sebelum melanjutkan, ada baiknya baca dulu posting sebelumnya dan tentang Kompetisi WEB Kompas MuDA & AQUA.
Setelah pengalaman ansos yang menarik pada semester 3 itu, kami sekelompok memutuskan untuk ‘mengeksplor’ lebih dalam tentang Desa Karangwidoro. Kebetulan, tugas mata kuliah Character Building 4 adalah membuat program pengabdian masyarakat. Kami yang merasa tergerak dengan kisah Pak Kades mengenai desa yang kekurangan air, memutuskan untuk membantu penduduk desa ini.
Pak Kades menceritakan tentang sumber air Desa Karangwidoro, yang letaknya nun jauh di perbukitan sekitar 10 km di arah barat desa. Sumber air tersebut berdekatan dengan sumber milik Desa Petungsewu dan Desa Selorejo (juga di Kecamatan Dau). Tentunya Pak Kades sudah meminta izin untuk menggunakan sumber air tersebut demi keperluan desanya.
Sumber air perlu dirawat dan dijaga, agar ketika musim kemarau pasokan air tetap lancar mengalir. Salah satu caranya adalah dengan menanam pohon di sekitar mata air. Menurut Pak Kades, jenis pohon yang baik ditanam adalah pohon sukun, karena akarnya mampu menyerap air dalam jumlah banyak. Mendengar itu pikiran saya pun melayang ke kebun belakang rumah nenek di Kediri. Tak dinyana, ternyata pohon berdaun menjari dengan buah bundar yang sering direbus/digoreng itu bisa melestarikan mata air! :-0
Kami sekelompok akhirnya sepakat untuk membeli 50 bibit sukun untuk ditanam bersama para warga desa di sekitar sumber air. Harga per bibit (yang masih kecil) Rp 10.000 per polybag. Pada Minggu, 2 Mei 2010 berangkatlah kami sekelompok (14 mahasiswa+1 dosen mentor), beberapa anggota Karang Taruna, dan Bapak Kepala Desa ke perbukitan Petungsewu.

Sampai di kaki bukit, kendaraan yang kami gunakan sudah tidak bisa dipakai alias kami harus JALAN KAKI *yaiyalah masa naek gunung pake Innova*


Ternyata eh ternyata, jarak antara kaki bukit dengan mata air masih 4 km lagi! Kami harus mendaki tidak hanya satu, tapi DUA bukit yang dipisahkan oleh sebuah sungai. Belum seperempat perjalanan, sudah banyak yang KO alias minta turun, terutama cewek2. Sampai di sungai, kelompok kami yang bertahan hanya tinggal separuh saja. Sisanya pulang karena kelelahan. Jadilah, saya satu-satunya peserta cewek yang tersisa di rombongan itu. Maklum, biasa mbolang sih *berlagak adeknya Riyanni Djangkaru*

Seiring perjalanan, medan yang kami lalui semakin berat. Bukit ke-2 ini tampaknya cukup jarang dijamah manusia. Tanamannya lebih lebat dan jalan setapaknya banyak dihalangi tanaman liar. Di tanah yang kami pijak ada kalanya kami melihat tonjolan pipa paralon basah. Itu adalah pipa yang menyalurkan air dari mata air di puncak bukit hingga ke Desa Karangwidoro…kira2 14 km jaraknya, wow! Kata Pak Kades, masih mending kita naik bukit susah payah begini cuma bawa bibit sukun…saat saluran air itu dibangun 4 tahun yang lalu, para pekerjanya harus menggotong pipa, semen, dan material2 berat lainnya naik-turun bukit! *plokplokplok*


Jujur, baru kali ini saya menjelajahi bukit selebat ini dengan air sungai sejernih ini. Rasanya seperti berada di hutan hujan tropis Borneo *lebay*. Tapi memang, di dalam hutan sinar matahari nyaris tak tampak karena tertutup oleh ‘kanopi’ pohon2 yang sangat besar. Kadangkala kami bisa mendengar gemericik air sungai kecil yang merupakan aliran dari mata air di puncak. Saking ‘geregetannya’ dengan stream alias sungai kecil itu, saya berhenti sejenak untuk merasakan segarnya air jernih itu di kulit. Dingin luar biasa.


Akhirnya setelah perjalanan sekitar 2 jam, sampai juga kami di lokasi mata air. Mata air itu ternyata sudah dibuat menjadi semacam sumur. Kata Pak Kades, itu untuk melindugi airnya agar tidak tercemar oleh kotoran2 di bukit, misalnya lumpur/sampah/kotoran hewan. Di dalam sumur, air mengalir luar biasa jernih dan deras. Saya yang menyaksikannya hanya bisa mengucap syukur, ternyata Tuhan masih menyediakan air ini untuk warga desa yang merana karena kekeringan. Tak terbayangkan betapa beruntungnya menjadi penduduk Desa Karangwidoro nun jauh 14 kilometer di bawah sana, yang saat ini mungkin sedang minum atau mandi dari air jernih yang saya pandangi ini.

Di sana kami pun mulai ‘beraksi’ menanam bibit-bibit pohon sukun. Bibit seharga 10 ribu rupiah itu, ternyata bisa menjadi sangat berarti untuk kelangsungan hidup sebuah desa. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, pohon sukun ini akan tumbuh lebat dengan akar-akar kuat. Pohon itu tidak akan mati, dan akan terus tumbuh menjadi “penjaga†mata air dalam hutan lebat ini. Berapa banyak warga desa yang akan menikmati air bersih ini? Berapa generasi yang akan minum dari mata air ini? Langkah kecil kami ternyata bisa membantu masa depan manusia.

Mungkin, kami adalah segelintir orang yang ‘beruntung’ masih bisa menyaksikan rahmat Tuhan berupa percikan air murni dari dasar bumiNya. Kami merasa salut kepada Pak Kepala Desa dan para warganya yang sangat peduli kepada kelangsungan ekosistem mata air. Mereka tidak menggunduli hutan dan justru menanami pohon di sekitarnya, karena sadar bahwa ketika hutan gundul mereka jugalah yang akan menderita. Ternyata, di pucuk bukit di pedalaman Kabupaten Malang ini, masih ada orang-orang yang peduli. Masih ada orang-orang yang berpikir panjang: bahwa air memang untuk masa depan. Masa depan anak cucu, masa depan sebuah desa, dan masa depan bumi seluruhnya.

Meskipun yang kami lakukan hanya sebuah langkah kecil, hanya untuk sebuah mata air kecil, tetapi kalau semua orang sadar dan melakukannya, tentunya tak perlu lagi ada penduduk yang kekurangan air bersih.
Masa depan bumi ada di tangan kita sendiri.
Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi WEB Kompas MuDA & AQUA yang diselenggarakan oleh Kompas MuDA
This content is really interesting. I have bookmarked it.
Do you allow guest posting on your page ? I can provide high quality articles for you.
Let me know.