Dalam perjalanan menyusuri lika-liku air di Malang Kotaku, saya menemukan sebuah ironi. Air, dalam posisinya sebagai sumber daya yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, ternyata bisa memiliki ‘nasib’ yang berbeda, tergantung kepada manusia yang ada di sekitarnya.
Ada air yang mengalami ‘nasib baik’, seperti Sumber Air Desa Karangwidoro. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki kepedulian tinggi akan eksistensinya. Ia dijaga dan dirawat oleh Pak Lurah dan warga desanya. Ia menjadi sebuah hulu kehidupan. Mata air itu pasti bahagia karena ia akan hidup lebih lama, dan akan terus memberi manfaat bagi anak manusia.
Namun nasib berbeda dialami oleh air yang ada di Sungai Brantas dan sekitarnya. Air yang berada di Kota Malang ini sungguh malang nasibnya. Ia dipenuhi kotoran dan limbah manusia. Ia diabaikan, tak dipedulikan, tidak dijaga kelestariannya. Jika ia bisa meluapkan emosinya, mungkin ia akan menangis. Menangis karena orang-orang yang ada di sekitarnya sibuk merusaknya; membuang sampah di tubuhnya, mendirikan bangunan yang mengacaukan alirannya. Ketika musim hujan, ia akan mengalir berlebihan karena lahan resapannya telah digantikan oleh besi dan beton. Ketika musim kemarau, jarang ia bisa mengalir karena tak ada cadangan air yang cukup di tanah sekitarnya.
Perbedaan ‘nasib’ kedua air tersebut, tentunya dikarenakan perbedaan tingkat kesadaran manusia di sekitarnya. Para warga Desa Karangwidoro, meskipun mereka berpendidikan rendah, hanya bekerja sebagai kuli dan buruh tani, namun kepekaan mereka terhadap alam sangat luar biasa. Sebaliknya, para warga Kota Malang yang mayoritas berpendidikan tinggi, profesional dan pengusaha kaya, justru sama sekali tidak menaruh penghormatan kepada alam yang telah menyokong kehidupannya.
Manusia memang ironis…
Kita sebagai generasi muda punya pilihan. Apa yang akan kita lakukan terhadap air di sekitar kita? Apakah kita akan menghambur-hamburkannya atau menghematnya? Apakah kita akan membiarkannya musnah atau berusaha melestarikannya? Keduanya adalah pilihan dan keduanya memiliki konsekuensi. Tapi kita harus percaya bahwa kita memiliki kekuatan. Kita adalah GENERASI MUDA. Ingat kata Bung Karno, “Beri aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia!” Padahal kita, pemuda Indonesia, ada berjuta-juta jumlahnya. Bayangkan betapa besar perubahan yang akan kita buat kalau kita mau mencoba!
Mungkin sebagian dari kita berpikir, bagaimana kita bisa mengubah orang lain, apalagi mengubah Indonesia, mengubah dunia? Kita hanyalah sekumpulan pelajar SMA dan mahasiswa. Kita masih dianggap remeh oleh orang-orang yang lebih tua.
Tentunya sumber perubahan adalah diri kita sendiri. Sebelum mengubah orang lain maka kita harus mengubah diri sendiri. Sebelum menyuruh orang lain menghemat dan melestarikan air tentunya kita juga harus melakukannya. Kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana; mandi dengan air secukupnya, menggunakan air bekas bilasan baju untuk mencuci sepatu, atau menahan diri agar tidak buang sampah di sungai.
Tapi itu sungguh hal-hal yang remeh, apa dengan melakukan hal itu saja kita bisa menyelamatkan air dan masa depan manusia? Memang tidak, kalau hanya kita yang melakukannya sendirian. Tapi kalau setiap orang melakukannya, maka hal remeh ini akan menjadi sebuah hal yang berdampak besar. Kita seperti segenggam salju yang diluncurkan dari puncak bukit. Ketika menggelinding ke bawah kita membawa salju-salju lain meluncur bersama kita dan akhirnya menciptakan sebuah bola salju besar yang menggelinding kencang. Gerakan hemat air kita akan menular ke sekitar kita.
Ingat kan jargon ini: “Think Globally, Act Locally”. Kita yang masih muda dan berwawasan luas, bisa berpikir jangka panjang akan dampak pencemaran dan pemborosan air. Pemikiran besar itu lalu kita WUJUDKAN dalam tindakan sehari-hari. Kalau setiap pemuda Indonesia melakukan itu, tentunya masa depan air bersih Indonesia lebih terjamin.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mencemari air? Menebang hutan, membabat lahan resapan, dan mengotori sungai? Apa tindakan kecil kita di atas bisa menghentikan mereka? Tentunya tidak. Saat ini kita belum punya wewenang untuk mencegah atau menghukum mereka. Tapi sebagai pemuda kita lakukan saja apa yang bisa kita lakukan sekarang. Yang penting kita tidak ikut-ikutan merusak ekosistem air seperti mereka. Nanti, sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kitalah yang akan menggantikan mereka. Kita yang akan berada di posisi penting sebagai pemangku kebijakan. Dengan nilai-nilai luhur untuk melestarikan air, maka kita tentunya bisa mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik.
Maju terus pemuda Indonesia! 😀
Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi WEB Kompas MuDA & AQUA yang diselenggarakan oleh Kompas MuDA