Keyakinan akan keberadaan Tuhan sebetulnya sudah tertanam secara naluriah dalam diri manusia. Seorang atheis pun, pada saat2 sekaratnya, saat antara hidup dan mati, di mana hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya, pasti akan teringat bahwa ia pernah diajari tentang Tuhan.
Sejak awal peradabannya, sosok Tuhan tidak bisa lepas dari manusia. Dalam bentuk apapun. Manusia terus mencari dan mencari, seperti apakah Tuhan itu? Dahulu, manusia menyembah roh-roh leluhur dan benda gaib (animisme dan dinamisme) sebagai wujud keyakinannya akan ‘sesuatu-yang-lebih-kuat-dan-agung-daripada-manusia’. Kemudian, manusia mulai menciptakan berhala-berhala, berharap bahwa ‘sesuatu-yang-agung’ itu akan bersemayam di dalamnya. Manusia lalu menyembah dewa-dewa. Zeus-nya Yunani. Yupiter-nya Romawi. Brahma-nya India. Serta dewa-dewi pendukung mereka. Ada juga manusia yang menyembah api, matahari, bulan, bintang, dll. Intinya sama. Manusia yakin Tuhan itu ada, hanya tidak tahu siapa dan bagaimana.
Karena itu kemudian turunlah para Nabi dan Rasul; mulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad yang membawa ajaran ketauhidan: mengesakan Tuhan. Simply monotheism.
Quraish Shihab mengatakan, tidak ada satu ayatpun dalam Al-Quran yang menegaskan tentang perwujudan (baca: eksistensi) Tuhan. Sebab ‘dari sononya’, manusia sudah dibekali dengan keyakinan naluriah akan keberadaan Tuhan. Itu fitrah manusia. Al-Quran hanya menegaskan tentang ke-Esa-an Tuhan. Bahwa Tuhan itu satu dan menguasai segalanya. Sebab, ketika Al-Quran turun, sudah banyak kepercayaan2 dan agama2 yang tentu saja menyembah Tuhan. Al-Quran hanya meluruskan itu.
Demikianlah, Tuhan sudah ada dalam diri manusia sejak Dia menciptakannya…