Ibu Risma. Hampir 2 tahun tinggal di kota di mana beliau menjadi walikota, ini pertama kalinya saya melihat dan mendengarkan beliau bicara. Sudah kerap terdengar kabar di media tentang sepak terjangnya sebagai walikota berprestasi. Tapi saya bukan orang asli Surabaya, kurang merasakan perubahan apa yang beliau bawa. Kalau menurut teman2, yang paling nyata adalah berkurangnya banjir dan tata kota yang semakin asri.
Dekat tempat tinggal saya, di daerah jalan Banyu Urip, Tanjungsari, sampai Benowo menurut cerita hujan deras sedikit, banjir bisa sampai setinggi dada. Sekarang setiap lewat situ sehabis hujan paling banter hanya genangan setapak kaki. Rupanya perubahan ini adalah dampak positif dari proyek pembangunan box culvert di sungai sepanjang Banyu Urip hingga Benowo. Proyek ini adalah ide yang sangat brilian–mengatasi banjir sekaligus mengurangi kemacetan. Sungai di tepi jalan Banyu Urip dikeruk untuk menambah kapasitas sungai (supaya air tidak meluber saat hujan). Lalu di badan sungai “ditanamlah”ย box culvert,ย semacam kotak saluran air tertutup untuk mencegah masuknya sampah dsj. Jadi bayangkan, ada sebuah jalan raya yang sempit dan macet, di sampingnya ada sungai yang sering banjir. Sungai ini “ditutup” denganย box culvert,ย lalu bagian atasnya diaspal dan “disulap” menjadi jalan raya lagi. Jadi jalan kembar! Efeknya, aliran sungai lancar (tidak banjir), ruas jalan pun bertambah lebar (tidak macet). Selesai dua masalah sekaligus kan?
Jalan Banyu Urip adalah jalan penting yang menjadi “pintu masuk” Surabaya Barat. Jalan ini pasti saya lewati kalau mau ke pusat kota, dan baru2 ini saja saya tahu kalau ternyata di bawah jalan ini adalah sungai! Keren banget nggak sih.
Selain itu, katanya di Surabaya juga semakin banyak taman asri. Meskipun saya hampir enggak pernah ke taman selama di Surabaya (duh), tapi komunitas2 di Surabaya banyak yang menjadikan Taman Bungkul/ Taman Prestasi/ Taman BMX/ Taman Pelangi dll sebagai titik kumpul dan tempat nongkrong mereka. Bukan di kafe atau di mall. Jadi kayak taman udah jadi bagian gaya hidup sosial gitu. Enak sih…segar indah dan gratis :))
Semua kemajuan ini dicapai dalam tempo 3 tahun masa bakti beliau–bisa dibilang luar biasa. Tentu saja masih banyak prestasi Ibu Risma yang lain. Tapi anehnya, saat ini beliau justru diisukan ingin mundur dari jabatan walikota. Kenapa?
Dalam tayangan Mata Najwa tadi, Ibu Risma tampak emosional sekali. Beliau menunjukkan perasaannya dengan gamblang, termangu, terisak, hingga akhirnya menangis. Beliau menceritakan semuanya: tentang wakil walikota, tentang Dolly, tentang KBS, tentang semua sepak terjangnya selama menjabat. Satu hal yang paling kentara adalah: beliau orang yang sangat peka terhadap perasaan dan penderitaan orang lain. Beliau bercerita tentang hasil “blusukan”nya ke lokalisasi Dolly sampai tidak bisa berkata-kata hingga meneteskan air mata. Bu Risma berdialog dengan anak2 sekitar lokalisasi, berkunjung ke sekolah mereka, bahkan sampai menyambangi rumah seorang PSK berusia 60 tahun. Di sinilah beliau merasa hatinya teriris karena PSK lansia itu memiliki pelanggan bocah2 di bawah umur, yang masih berusia SD-SMP. Uang jajan mereka hanya seribu-dua ribu perak, dan hanya PSK lansia sajalah yang mau dibayar serendah itu. Hati siapa yang tidak merasa perih mendengarnya?
Ibu Risma adalah seorang perempuan, dan juga seorang ibu. Tentu saja beliau sangat peduli pada nasib perempuan dan anak2. Di sinilah insting keperempuanan beliau bermain penting dalam mengambil kebijakan sebagai walikota. Tanpa bermaksud bias gender, tapi kenyataannya emosi dan perasaan sulit dipisahkan dari perempuan. Walikota laki-laki barangkali tidak akan menjadikan Dolly persoalan utama “sampai segitunya”. Tentunya karena simpati mereka tidak bisa sedalam Bu Risma yang seorang perempuan, dan merasa anak2 kampung Dolly adalah anak2nya sendiri yang harus dia selamatkan sebagai seorang ibu.
Bu Risma juga senang “blusukan”. Kalau ada masalah beliau suka langsung turun menanganinya sendiri. Kalau macet jalan diatur sendiri, kalau banjir got dicemplungin sendiri, kalau kebakaran selang disemprot sendiri. Mungkin kelihatan “lebay”, tapi itu adalah bagian dari sikap responsif-nya. Dia ingin kalau ada masalah langsung selesai saat itu juga, dan tidak sungkan untuk “nyemplung” sendiri menyelesaikannya hingga ke detail.
Somehow gaya kepemimpinan Bu Risma ini mengingatkan saya pada bos saya sendiri, yang kebetulan juga seorang perempuan. Tentu saja beliau berdua berbeda jauh, tapi ada sedikit kesamaan dalam memimpin, yaitu mengutamakan perasaan dan cenderung micromanaging. Bos saya juga sering merasa kasihan dan kadang mudah terbawa perasaan. Beliau juga cenderung over mengurusi sesuatu sampai ke detail2nya dan kadang hal remeh temeh ditangani sendiri (micromanaging). Saya tidak tahu apakah ini hanya kebetulan, atau perempuan memang cenderung memimpin seperti itu? Tapi yang jelas berbeda adalah, Bu Risma memiliki spiritualitas luar biasa, yang menjadikan apapun yang dia lakukan terasa tulus dan mengena.
Ketika seseorang sudah mencapai keseimbangan spiritual, maka dunia bukan lagi menjadi yang utama. Dalam perkataannya Bu Risma selalu mengulang-ulang kata2 “untuk Tuhan”, “demi Tuhan”, “Tuhan kasitau saya”, “pertanggungjawaban di depan Tuhan”, dst. Bahkan beliau nggak mau jadi presiden karena–dengan polosnya–beliau takut nggak bisa masuk surga jika ada rakyat yang tidak puas dengan kepemimpinannya. Dalam persoalan KBS, beliau tahu ada mafia yang bermain dalam proyek tsb, dan beliau langsung lapor KPK, dengan gamblangnya berkata “Saya dan keluarga saya sudah siap mati karena kasus ini”.
Bagi Bu Risma, tidak ada yang perlu ditakuti selain Tuhan.
Satu hal yang kelihatan jelas dari beliau adalah, beliau tipe pekerja keras, bukan politisi. Beliau tidak pandai bicara, public speakingnya kurang jelas dan terstruktur. Pilihan kata2nya kadang terdengar “clumsy”. Bagi saya, itu justru menunjukkan bahwa beliau jujur mengutarakan apa yang ada di pikirannya, tidak perlu pakai bahasa berbunga-bunga. Ia tidak sedang mengobral janji, tapi memaparkan bukti.
Pada akhirnya saya berharap, semoga Tuhan melindungi Bu Risma. God bless you Madam, and God bless Surabaya.
Analisis yang bagus, saya sendiri sedang kuliah di luar kota, jadi tidak terlalu update dengan kondisi surabaya; namun setiap kali saya pulang ke Surabaya selalu ada yang baru yang saya lihat, dan itu mencengangkan. “Hah, Surabaya sekarang ada beginian?”, itu komentar yang sering saya ucap. (Rumah saya di kabupaten sebelah selatannya sebenarnya, namun saya pernah menempuh pendidikan 3 tahun di Surabaya).
Adapun soal berhadap-hadapan dengan mafia (prostitusi, KBS, dsb.), saya rasa Mayor Risma sangat perlu diback-up dari belakang. Power harus dihadapi dengan power. Kelemahan bu Risma dalam berpolitik itu sebenarnya harus diperbaiki, karena berperang dengan mafia itu memang butuh manuver yang jitu, setidaknya kalau bu Risma memang tidak dapat berpolitik, harus ada kawan-kawan yang membantunya.
Karena berperang dengan penjahat berisiko kematian, sebaiknya bu Risma dijaga (dengan bodyguard misalnya). Memang beliau siap mati, tetapi beliau adalah komandan, kematian komandan berbeda dengan kematian prajurit, apalagi Surabaya masih membutuhkan pengayoman dan keibuannya.
Dengan demikian, bu Risma bisa bekerja maksimal tanpa perlu khawatir terlalu banyak dengan kondisi perpolitikan surabaya. Minimal ada kawan-kawan yang membantu melakukan perlawanan terhadap rongrongan penjahat-penjahat itu. Saya rasa demikian
Terima kasih untuk artikelnya.
mas izue, pemikiran yang bagus sekali. Power harus dihadapi dengan power. kadang niat baik saja memang tidak cukup, harus ada “strategi perang” juga supaya bisa mengalahkan orang2 yang berniat buruk.
pokoke ojok mundur dhisik…
#SaveRisma
NIce post !
Button share mana nie ? pengin kabar2 supaya yg lain pada baca ^^
Setuju, we need more woman in power, krn perempuan lebih peka & punya intuisi dalam memimpin !
perempuan memang cenderung menggunakan perasaan dalam bertindak. positifnya, semua emosi, kepekaan, kepedulian, intuisi tsb dapat menggerakkan semangat juang. negatifnya, beban perasaan itu kadang juga bisa membuat kita bertindak spontan tanpa berpikir panjang. tergantung bagaimana me-manage perasaan2 tsb
Ya, jadi pemimpin itu memang berat.. ๐
either man or woman =))
tapi belum pernah liat bu e secaara live di surabaya, ๐
samaaaaa ๐
kapan hari katanya pernah ikut ngatur lalu lintas di persimpangan balongsari-margomulyo
figur pemimpin yang diidamkan oleh rakyat…
Just wanna say.. Tetap semangat Bu Risma..
We all proud to have you.. sekalipun saya cuma 1 tahun di Surabaya kemarin, tapi saya
jelas merasakan perubahan-perubahan, termasuk sedikit sejuknya Surabaya.. ^_^
Berharap ada pemimpin yang seperti beliau,, ya minimal di Kota dan Kabupaten Malang aja lah..
nah betul mba…amin…pengin juga Malang punya walikota seperti beliau ๐