Udara fajar masih terasa menggigit ketika kami berlarian sepanjang jalan setapak menuju dermaga Batu Gulok. “Ayo cepat, kapalnya sudah mau berangkat!” teriak si bapak sambil melambaikan tangan. Bertiga kami bergegas memacu langkah dengan segenap beban yang merentengi punggung dan pundak kami. Perahu kecil itu–untungnya–telah memutar arah demi menunggui kami naik ke kapalnya.
“Terima kasih Pak!” kami melambai pada si bapak yang baru saja kami kenal di musholla saat shalat Subuh tadi. Akbar, Kenny, dan saya segera melucuti beban2 kami–1 carrier besar, beberapa ransel dan tas selempang–lalu duduk beristirahat di perahu kecil itu. Matahari belum lagi tampak sempurna, tapi kami sudah bisa melihat jernihnya air laut yang mengitari perahu. Air bening biru kehijauan itu menunjukkan dengan jelas kepada mata telanjang kami bebatuan dan koral yang ia simpan di dasarnya. Perasaan saya campur aduk–antara bahagia dan tidak percaya. Saya masih tidak menyangka bahwa kami sudah berada di Pulau Kangean, pulau yang telah lama diidam-idamkan untuk pergi ke sana. Perjalanan laut selama 10 jam dari pelabuhan Kalianget, Sumenep, telah kami lalui demi mencapai kepulauan ini. Dan sekarang, kami langsung memulai perjalanan lagi menuju pulau kecil di ujung barat laut Kangean, Pulau Mamburit.
Matahari masih malu-malu muncul di ufuk timur ketika perahu kami mengarahkan moncongnya menuju pulau nyiur tersebut. Hanya 10 menit perjalanan, perahu telah membuang sauh di tepi pantai. Tibalah kami di Pulau Mamburit.
Pantai Mamburit sangat menggoda wisatawan dengan pasir putihnya yang bersih dan air lautnya yang jernih. Dari tepi pantai hingga ke tengah laut, gradasi warna biru tampak jelas bertingkat-tingkat…sungguh pemandangan yang mengagumkan. Mamburit sendiri bukanlah sebuah pulau besar. Hanya butuh waktu 2 jam untuk jalan kaki mengelilingi pulau seluas 8 hektar ini. Penduduknya berjumlah sekitar 600 KK atau hampir 2.000 jiwa. Seperti semua pulau di Kepulauan Kangean, listrik tidak menyala pada siang hari. Beberapa penduduk memiliki genset, tapi lainnya otomatis hanya bisa menikmati peralatan elektronik saat malam saja. Tidak heran bila kami menjumpai blender unik–diputar dengan tenaga manual tangan–di warung tempat para bocah SD bergerombol untuk membeli Pop Ice.
Masuk ke dalam pulau, kami disambut oleh suasana pedesaan yang nyaman, dengan rumah2 sederhana dan pepohonan rindang menaungi jalan setapak yang masih berupa tanah. Sepanjang jalan kami menemukan banyak pohon kelapa dan pohon sukun–vegetasi khas di pulau Mamburit. Rumah2 penduduk kebanyakan berdinding bata semi permanen, meskipun tidak jarang pula yang sudah berkeramik bagus. Batu bata putih adalah material bangunan khas Madura yang juga digunakan di pulau ini–konon dengan harga setara, kekuatannya lebih dari bata merah biasa.
Penduduk Mamburit, pada kesan pertama, adalah pribadi yang luar biasa ramah dan terbuka. Kesan itu semakin menguat pada hari-hari berikutnya. Pagi itu kami bertemu dengan Mas Ruji, adik kepala desa, untuk meminta izin mendirikan tenda di tepi pantai. Dengan tangan terbuka, beliau menyambut dan mengantarkan kami menuju pantai utara pulau, tempat yang dia rasa paling aman untuk berkemah. Di kaki mercusuar, 2 meter saja jaraknya dari bibir pantai, di situlah kami mendirikan tenda selama 3 hari 2 malam.
Tempat itu adalah tempat yang sempurna. Dari dalam tenda, jernihnya air laut dan suara deburan ombak dapat kami nikmati tanpa jeda. Kami bisa melihat matahari terbit dan tenggelam langsung pada hamparan langit yang sama. Dan ketika malam tiba, bintang-bintang bagai permata seakan tumpah dari keranjangnya menghiasi langit yang gulita. Indah dan sederhana.
Pada hari pertama, sesuai tujuan utama, kami langsung menceburkan diri ke laut menyusuri pantai Mamburit. Laut yang bening itu ternyata menyimpan kemalangan di dasarnya. Apa yang kami temukan sedikit mengecewakan dan memiriskan hati. Terumbu karang di bibir pantai itu, hampir semuanya telah hancur berkeping-keping. Hanya potongan koral berserakan yang bisa kami temukan, diselingi dengan gerombolan bulu babi di sana sini. Sedikit sekali terumbu karang utuh yang tersisa. Mas Ruji mengatakan bahwa hancurnya terumbu karang itu adalah akibat pengeboman ikan besar-besaran pada 1980-an. Kami mengelilingi separuh pantai pulau tersebut, tapi tetap menemukan hal yang sama. Tidak ada pemandangan bawah laut yang bisa dilihat di sini, semuanya hancur terkena bom. Rasa kecewa sempat melanda, namun kami tetap berpikiran positif. Esoknya kami merencanakan untuk menyewa perahu dan mencari spot snorkeling yang agak jauh dari pantai.
Kami menghabiskan sisa hari itu dengan bercengkerama bersama penduduk pulau. Bertiga kami menumpang mandi di rumah Pak Mashur, pemilik warung yang luar biasa baik hati karena mengizinkan rumahnya menjadi “basecamp” kedua kami. Akbar dan Kenny sempat kembali melaut dengan sampan kecil bersama teman Pak Mashur. Sore itu kami berkenalan pula dengan Mas Zainul, orang Jawa yang ‘terdampar’ di Pulau Mamburit karena istrinya bertugas sebagai satu2nya bidan di pulau ini. Malamnya, tanpa diduga kami kedatangan tamu-tamu istimewa. Mas Ruji datang menyambangi tenda kami dan bercerita banyak tentang sejarah Pulau Mamburit dan Kangean. Berikutnya, Pak Nurul, yang ternyata sepupu dari om teman saya Dewi, datang pula untuk menjenguk kami. Belum genap sehari kami berada di pulau ini, serasa sudah banyak yang kami kenal dan pelajari di sini. Mamburit adalah pulau yang sangat bersahabat 🙂
Malam itu, ditemani cahaya lampu senter dan suguhan biskuit Oreo, berbagai cerita menarik mengalir dari Mas Ruji di tenda kami. Menurutnya, pulau ini dahulu bernama “Pulau Anjerit”, yang kurang lebih berarti “pulau menjerit”. Konon katanya, dahulu pulau ini bersambung menjadi satu dengan Pulau Bawean (pulau di sebelah utara Gresik). Suatu malam, pulau Bawean “bepergian” ke arah Barat. Namun anehnya, bagian pulau yang lain seakan “terjerat” pada dasar laut sehingga tak bisa ikut bergerak. Pulau itupun menjerit “tungguuu…jangan tinggal saya…” Namun terlambat, Bawean telah sampai pada posisinya sekarang sementara kawannya tetap tinggal di Kangean tak bisa bergerak. Itulah pulau Mamburit kini.
Mas Ruji orang yang menggemari cerita-cerita berbau mistis. Menurutnya, arwah Bung Karno sering berkunjung ke pantai sekitar Mamburit untuk berkumpul dengan makhluk2 halus lainnya. Mamburit juga memiliki penjaga seekor ikan besar dan seekor naga yang bersemayam di dasar pulau. Karena itu, tak seorangpun bisa mengusik pulau ini. Tentang patok-patok beton yang berbaris membujur di pantai depan tenda kami, ia berkisah bahwa patok-patok itu dulunya dipancangkan oleh perusahaan yang ingin melakukan pengeboran di lepas pantai Mamburit. Konon katanya di dasar pulau ini tersimpan sumber emas (atau minyak, mungkin). Namun kepala desa tidak memberikan izin. Lalu entah bagaimana hingga kini pengeboran belum dilanjutkan kembali.
Soal politik, Mas Ruji sempat menceritakan bagaimana dramatisnya Pemilu kepala desa Mamburit tahun lalu. Kakek Mas Ruji sendiri dulunya adalah orang yang mula-mula “merintis kehidupan” di Pulau Mamburit. Sebagai adik kepala desa, Mas Ruji mengerti betul bagaimana proses kakaknya terpilih sebagai kepala desa asli Mamburit setelah bertahun-tahun posisi itu dijabat orang Kangean. Pada Pemilu tersebut, dari 4 calon kepala desa, hanya 1 orang yang berasal dari Mamburit, yaitu kakak Mas Ruji. Lainnya adalah orang Kangean (pulau Kangean besar–Red).
Saat penghitungan suara, ada kelebihan 3 kertas suara dari jumlah pemilih yang seharusnya. Ketiga kertas suara itu disepakati oleh panitia untuk disisihkan dan tidak dihitung. Namun, hasil akhir penghitungan menunjukkan bahwa calon no IV (orang Mamburit) menang selisih 2 suara saja dari calon no III (orang Kangean). Melihat kenyataan itu, tentu saja para pendukung calon Kangean protes. Mereka minta 3 suara tadi dibuka dan ikut dihitung. Saat panitia menolak, celurit pun bicara. Akhirnya, mau tidak mau 3 kelebihan suara itu dibuka dan dihitung lagi. Hasilnya sungguh dramatis. Calon no IV tetap menang dengan selisih 1 suara saja dari calon no III. Kakak Mas Ruji pun resmi terpilih menjadi Kepala Desa.
Kisah-kisah Mas Ruji menambah pemahaman kami tentang pulau ini. Setelah beliau pulang, kami masih kedatangan tamu Mas Zainul dan Pak Nurul yang saya sebutkan tadi. Sampai malam kami bercengkerama di kaki mercusuar. Saat itu pula kami bertemu dengan Pak Bambang dan istrinya, penjaga pos mercusuar yang hanya tinggal di sana saat malam hari.
Malam semakin larut dan kantuk pun semakin mendera. Kami bertiga berangkat tidur dalam tenda mungil, beratap bintang-bintang, berselimut angin pantai, dan berninabobokan suara debur ombak. Pengalaman yang luar biasa buat saya. Satu hari telah terlewati, kami terlelap dengan harapan menyibak keindahan taman laut Mamburit keesokan harinya.
(Bersambung ke bagian 2)
Nice story written by a nice story teller, well done umik! 😀
ini versi drama bar…kehebohan2 kita yang malu2in taksensor semua hahaha :p