Ramadhan adalah bulan kontemplatif. Dengan perut kosong dan pengendalian nafsu, Tuhan sebetulnya menyuruh kita untuk berpikir. Dengan mengistirahatkan perut, panca indera, dan alat reproduksi, Tuhan sesungguhnya meminta kita untuk menggunakan otak kita. Berpikir dan merasa, lebih daripada biasanya. Perenungan tentang Tuhan, iman, dan agama justru tidak bisa lepas dari hal-hal duniawi. Sebab pemahaman terbesar tentang Tuhan akan didapat tidak di dalam rumah peribadatanNya, melainkan dalam pergumulanmu dengan makhluk2 ciptaanNya. Dan ketika kamu sudah benar2 memahamiNya, kamu pun tak akan memperoleh manfaat apapun darinya kecuali jika kamu membaginya dengan makhluk2Nya. Sebab iman bukanlah untuk disimpan sendiri, melainkan untuk diaplikasikan demi kemajuan umat manusia. (Read: Agama Aplikatif) Tidak sepenuhnya benar jika ada yang bilang bahwa “iman itu urusan pribadi manusia dengan Tuhan”, karena justru perwujudan tertinggi iman seseorang dapat dilihat dari sikapnya terhadap makhluk ciptaan Tuhan. Sebab, bukankah manusia yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaq (budi pekerti)nya? Manusia yang benar2 beriman dan memahami agamanya, tidak akan terjebak dalam paradigma sempit mengenai Tuhan. Tuhan tidak sesimpel membenarkan ‘Tuhan’ sendiri dan menyalahkan ‘Tuhan’ lainnya. Tidak sesederhana mengejar pahala dan menghindari dosa. Tidak semudah hidup bagaikan biarawati lalu melupakan apa yang terjadi di dunia. (Baca: Menjadi Muslim Sesungguhnya) Agama bukan semata simbol. Sorban dan jilbabmu tidak mencerminkan ketakwaanmu. Keaktifanmu di organisasi keagamaan juga belum tentu menunjukkan derajatmu lebih tinggi daripada yang “awam”. Bukankah segala perbuatan dinilai dari niatnya? Karena itu ibadah bukan semata ritual fisik saja, tetapi makna di dalamnya itu yang lebih penting. (Baca: Esoterisme Agama) Iman yang ideal sudah selayaknya diwujudkan dalam kehidupan yang seimbang–dunia dan akhirat. Menjadi manusia yang sukses scara duniawi, tetapi juga tidak melupakan akhirat sebagai tujuan hidup abadi. Orang2 yang beriman tetapi berpikiran progresif. Beragama dengan akal sehat. Tanpa fanatik buta, tanpa merasa apriori terhadap cara hidup modern. Seorang yang bisa dikatakan sebagai “progressive believer”. “Progressive Believer”, tema inilah yang akan saya usung dalam rangkain blogpost Ramadhan tahun ini. Setelah seri “Renungan Ramadhan” beberapa tahun lalu, Ramadhan kali ini saya ingin membahas profil tokoh2 Muslim yang saya anggap sebagai “progressive believer”, seseorang yang berhasil meraih sukses duniawi dengan tetap berpegang teguh pada imannya. Mudah2an kisah tenang kehidupan mereka dapat menginspirasi kita untuk menjadi muslim yang lebih baik. Semoga bermanfaat dan selamat membaca 🙂
Ramadhan Series: “Progressive Believer”
Category: Progressive Believer