Semua cewek di dunia ini pasti pengin kelihatan cantik. Iyalah. Adalah sebuah gombalan klasik kalau ada yang bilang “kecantikan fisik itu gak penting, yang penting inner beauty-nya…” Salah besar. Cantik fisik itu penting. Bukan berarti inner beauty nggak penting, of course itu penting banget. Tapi pintu untuk mengenal inner beauty itu tentunya dari kecantikan fisik ya kan. Dan jangan lupa, cowok itu makhluk yang sangat visual, bagi mereka cinta memang datangnya dari mata turun ke hati.
Meskipun begitu, tentunya cewek tampil cantik bukan hanya untuk menarik perhatian cowok, tapi karena emang dasarnya suka aja kelihatan cantik. Merasa cantik itu bikin pede. Coba deh kalau pagi2 temen kamu bilang “Ih kamu cantik banget deh hari ini” Pasti langsung jadi mood booster ya kan. Langsung deh seharian itu kamu ngerasa hepiii terus 🙂
Tapi kadang ya, suka sedih aja gitu kalau lihat obsesi perempuan akan kecantikan ini sudah kelewat batas, sampai kadang menyakiti dirinya sendiri. Sekarang lagi happening banget tuh yang namanya “thigh gap“, yang bikin saya jadi terinspirasi juga untuk nulis postingan ini. Maksudnya, itu tren kok aneh banget sih? Sejak kapan cewek yang pahanya gak nempel dibilang cantik? Duh dek. Salah besar kamu. Coba lihat cewek2 seksi dari jaman baheula di mana2 kalo foto bikini pahanya pasti nempel lah. Aneh2 aja kamu. Emangnya boneka barbie? Kalo pahanya gak nempel tandanya mah itu cewek CUNGKRING, CACINGAN, dan kurang gizi. Sana kasih makan banyak2.
Tren2 kecantikan yang gak masuk akal kayak gini, entah kenapa kok ya dengan cepat diamini sama para cewek. Penyebabnya apa? Media. Media lah yang udah gila2an mem-brainstorming para cewek dengan standar kecantikan supaya produk perusahaan mereka laku (baca: ngiklan). Kita mungkin gak asing lagi dengan bombardir iklan bahwa cewek cantik itu harus “putih, langsing, mulus, rambut panjang lurus, dll.” Akibatnya, cewek jadi terobsesi untuk mencapai standar itu dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai cewek, saya pun punya pengalaman dengan “obsesi kecantikan” itu. Ada bagian tubuh yang paling tidak saya sukai, yaitu pipi. Saya nggak suka pipi saya karena gak mulus dan dipenuhi bekas jerawat. Sumpah saya benci banget tiap kali bercermin dan mendapati bopeng2 nista itu terlihat dengan jelas. Apalagi kalau pas siang2, kumus2, muka berminyak maksimal, duh tambah keliatan ancur cur cur.
Jujur, masalah jerawat itu emang paling bikin saya enggak pede sejak jaman masih muda dulu. Kulit berminyak dan “bakat jerawat” warisan ortu menjadikan hari2 remaja saya dipenuhi keminderan dan keputusasaan *halah*. Dan emang dasarnya dulu saya cuek abis sih anaknya, jadi jerawat yang dipencet2 itu akhirnya menyisakan bekas luka yang mendalam sampai sekarang (literally). Duh. Sakiiiiittttt.
Sekarang setelah beranjak tua, baru sadar kalau jerawat dan bekasnya ini sangatlah mengganggu. Sejak remaja saya emang udah coba berbagai macam produk dan dokter anti jerawat tapi yah…tetep aja jerawatan. Jadi inget dialog dengan seorang dokter di RSSA bertahun2 yang lalu:
Dokter: Umurnya berapa dek?
Saya: 16 tahun Pak.
Dokter: Oh…kalau gitu cuma ada 2 cara supaya jerawatnya hilang dek.
Saya: Hah, apa pak?
Dokter: Kamu kawin sekarang, atau kamu tunggu 19 tahun lagi. Pasti jerawatmu langsung berhenti.
Saya: *terpana*
Waktu itu saya kayak ketiban palu aja divonis sama dokter bakal jerawatan selamanya sampai umur 35 tahun, kecuali kalo kawin. Kejam banget gak tuh. Tapi setelah berbagai macam ikhtiar, doa, tawakkal, keringat, darah, dan air mata saya cucurkan demi menghilangkan jerawat membandel, kayaknya tuh dokter emang bener. Kayaknya saya emang harus kawin biar jerawatnya ilang. Duh.
Saat udah mulai kerja, ketika penampilan menjadi semakin penting dan dompet udah cukup tebel untuk mendukung treatment wajah, saya mulai perawatan rutin di sebuah klinik kecantikan. Udah berbagai macam treatment saya lakukan di klinik tsb, Mulai disuntik, disinar, dilaser, di-peeling, sampek digerus pipinya pakek gilingan jarum (serius!), semuanya sudah pernah saya alami. Hasilnya ya udah mentok begini. Udah maksimal (sesuai takaran dompet). Kalau mau semulus SNSD gitu mungkin saya harus jual rumah orang tua dulu buat ampelas muka. Well, jadi kalau ada yang bilang “beauty is pain”, itu gak sepenuhnya bener. Karena meskipun kamu udah “pain” luar biasa, sampek berdarah2 (dalam arti sesungguhnya), kadang “beauty” itu gak datang2 juga. Hahahahahahaha nasibbb *ketawa hampa*
Sekarang setelah saya pikir2 lagi, isi ATM ini udah lumayan terkuras untuk “obsesi kecantikan” tersebut, sampai harus mengorbankan kepentingan2 lainnya. Kadang menyesal juga saat dengan gampangnya keluar uang banyak untuk treatment, tapi buat servis motor aja pelitnya minta ampun. Kadang saya masih sebel kalo bercermin dan lihat bekas jerawat yg seakan jadi “kutukan abadi”, tapi lama2 capek juga. Capek meratapi nasib dan terus2an merasa tidak puas. Mungkin saya harus mulai menerima kenyataan bahwa bekas jerawat ini adalah bagian dari identitas wajah saya. Mungkin saya harusnya mulai berpikir positif bahwa bekas jerawat ini bisa jadi personal branding saya. “Oh, Umi yang mukanya ada bekas jerawat itu ya?” Huahahahahaha ya gak gitu juga sih. Tapi somehow, ada hal lain yang lebih penting daripada sekedar noda sedikit (err, banyak sih) di wajah–yaitu aura.
Sebenernya, orang terlihat cantik atau tampan (baca: menarik), itu dari aura dia. Serius. Setelah bertahun2 mengamati para perempuan cantik (lebih sering ngelihatin cewek cantik daripada cowok ganteng), saya memperoleh kesimpulan bahwa cantik itu aura. Aura percaya diri, semangat, dan kebahagiaan yang terpancar dari seorang perempuan–itulah yang menjadikan dirinya cantik. Serius deh, gak gombal. Masalahnya kemudian ada pada rasa percaya diri tsb. Gak semua cewek bisa pede dengan apa yang dia punya.
Misalnya nih ya, ada cewek putih banget, menurut standar Indonesia pasti dia dianggap cantik kan ya. Tapi dia gak merasa cantik karena menurutnya dia agak gendut (padahal juga gak gendut2 amat). Nah, daripada berfokus pada betapa putih dan cerah kulitnya, dia malah sibuk khawatir dengan lipatan perutnya (padahal juga ga keliatan). Dia jadi terlihat gak nyaman sama dirinya sendiri. Padahal aslinya dia cantik loh, tapi karena dia gak merasa begitu, akhirnya malah kelihatan biasa aja.
Coba bandingin sama cewek yang, misalnya nih ya, kulitnya gelap dan hidungnya pesek. Tapi dia pede2 aja gitu. Dia merasa kulit dia tuh “selera bule”. Terus dia juga ngerasa bodinya lumayan oke. Dia fokus ke bodi seksinya, bukan ke hidung peseknya. Ini cuma masalah mengubah sudut pandang aja sih. Dia masa bodo amat mau dibilang “item”, “muka ndeso” dll. Itu mah cuma omongan cewek2 iri aja yang gak bisa kelihatan semenarik dia, sehingga berusaha menjatuhkan kepedeannya. But hey girls, nobody can take you down if you don’t let them to!
Jadi intinya, perasaan cantik itu keluar dari kemampuan kita untuk “menghargai kelebihan2 diri kita tanpa terlalu terbebani dengan kekurangan2 kita”. Karena setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Bukan berarti kita gak berusaha memperbaiki ya. Kalau masih bisa diusahakan secara wajar, sah2 aja dong kita memperbaiki penampilan. Asalkan gak sampe jadi obsesif dan menyengsarakan diri, gak sehat jadinya. Misalnya kita ngerasa agak gendut, ya silakan diet tapi yang wajar aja, gak usah sampe anoreksia gitu. Kalau udah diet mulu tapi gak seberapa turun, mungkin emang perawakan kamu kayak gitu. Ya udah terima aja, udah bawaan lahir. Kalau tujuanmu untuk memikat lawan jenis, gak usah khawatir, selera cowok itu beda2 gals. Ada yang suka bodi kurus, agak gemukan, bahenol dll. Jangan terpaku sama standar kecantikan dari iklan, karena kenyataannya preferensi lawan jenis itu bervariasi.
Sekarang coba katakan pada dirimu sendiri. Mungkin kamu agak gendut, berkulit gelap, ada bekas luka, dsb…tapi hey, kamu juga punya lesung pipi yang cantik, rambut yang halus, hidung yang bangir, dll. Jangan lupa, intelektualitas dan kepribadianmu adalah juga magnet yang menambah daya tarikmu, jauh melebihi penampilan fisikmu. Jadi fokuslah pada kelebihanmu sambil memperbaiki kekuranganmu. Senyum percaya diri lah hai kaum hawa, dan pancarkan aura cantikmu 🙂