“Sometimes it’s not about the destination, but the journey.”
Jumat 15 Agustus 2014. Hamparan cemara gunung menyambut kami berenam di gerbang pendakian Cemoro Sewu; Irul, Yusup, Reki, Lila, Arum, dan saya. Yusup adalah adik laki2 Irul, sedangkan Reki saudara sepupunya. Arum adalah adik perempuan Lila. Well I’m the only one who doesn’t bring my sibling here. Pendakian ini sudah direncanakan beberapa minggu sebelumnya. Hanya saja sedikit di luar perkiraan, paman Lila sebagai guide batal mengikuti rombongan. Kami akhirnya tetap berangkat walaupun tanpa pemandu.
Dengan tinggi 3.265 mdpl, Gunung Lawu bukanlah gunung tertinggi di Pulau Jawa, tetapi konon adalah yang tertua. Terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, gunung ini membagi wilayahnya untuk 4 kabupaten (Karanganyar, Wonogiri, Ngawi, Magetan) yang menggantungkan hidup dari perkebunan sayur dan wisata alam di lerengnya. Ini adalah gunung ketiga (setelah Panderman dan Ranu Kumbolo) yang pernah saya daki, dan yang saya harapkan bisa mencapai puncaknya untuk pertama kali.
Kami memulai pendakian lebih siang dari yang direncanakan. Menjelang pukul 3 sore kami baru mulai jalan–setelah membayar tiket masuk Rp 10.000 di gerbang Cemoro Sewu. Sebetulnya ada satu jalur pendakian lagi di Cemoro Kandang yang lebih landai, namun jalur Cemoro Sewu dipilih karena lebih cepat rutenya–hanya butuh 5-6 jam untuk mencapai puncak.
Tidak banyak logistik yang kami bawa. Bahkan kami tidak membawa tenda dan perlengkapan memasak. Sebuah keputusan yang berani (yang belakangan sedikit kami sesali). Dari pengalaman teman sebelumnya, kami mengandalkan “hidup” pada Mbok Yem, pemilik warung nasi di pos 5, pos terakhir sebelum puncak Gunung Lawu (iya, ada warung nasi di puncak gunung). Kami beranggapan dapat mencapai pos tersebut tepat waktu, sehingga bisa menginap di pondok Mbok Yem dan membeli makanan di sana. Namun ternyata, perkiraan kami keliru.
Cemoro Sewu adalah jalur pendakian yang cukup curam. Sebetulnya jalur ini sudah dilapisi bebatuan yang tertata rapi (seperti jalan makadam) sehingga memudahkan para pendaki. Namun kontur jalurnya yang curam tetap saja menyulitkan para pemula, apalagi saat perjalanan malam hari.
Secara normal jarak antar pos dapat ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam. Namun karena rombongan kami kebanyakan pemula (termasuk saya), perjalanan agak terhambat karena sering berhenti istirahat. Perjalanan mencapai pos 1 terasa cukup panjang, gara2 ada 3 “pos palsu” yang membuat kami merasa “ter-PHP”. Untungnya, di antara pos2 itu ada pos mata air yaitu “Sumber Panguripan”. Kami berhenti sejenak untuk mengisi air di sana.
Setelah melewati pos 1, jalur semakin menanjak curam. Kami semakin sering berhenti untuk istirahat. Sebagai anggota termuda dan belum pernah naik gunung, Arum tampak sangat kelelahan. Kasihan juga melihatnya harus terengah-engah berjalan. Sepertinya berat sekali perjuangan kami. Tak lama kemudian, Reki pamit undur diri. Dia turun kembali karena kakinya kram. Akhirnya, tersisa hanya 5 orang dalam rombongan.
Matahari semakin condong ke barat. Langit semakin gelap dan jalur batu tak lagi jelas terlihat. Udara dingin semakin terasa menggigit. Senter-senter pun mulai dikeluarkan. Dalam keadaan demikian, Arum tampak semakin kepayahan. Tak jauh sebelum tiba di pos 2, dia akhirnya tidak kuat lagi. Terduduk dan ambruk di pinggir jalan. Kami semua terkejut dan buru-buru menolongnya. Saya pikir dia hanya kelelahan, tapi kata Irul dia mengalami gejala hipotermia–kekurangan kalor dalam tubuh atau simply kedinginan.
Buru-buru kami kerahkan semua bawaan kami untuk menghangatkan tubuh Arum. Jaket, kaos kaki, sarung tangan, syal semua didobelkan pada pakaiannya. Arum tampak semakin lemah dan hampir kehilangan kesadaran. Bibirnya terus meracau namun kami tetap mengajaknya bicara agar dia tidak pingsan. Dalam keadaan begitu, Lila betul2 sigap menangani adiknya. Saya benar-benar salut dengan aksi cekatannya sebagai seorang kakak yang sangat memahami dan melindungi adiknya.
Untungnya, kami berlima tidak sendirian. Dalam perjalanan kami bertemu banyak rombongan pendaki lain yang dengan sukarela ikut membantu saat melihat Arum hampir tak sadarkan diri. Di malam gelap, di tengah jalur berbatu, semua rombongan pendaki itu berhenti hanya untuk memastikan kami baik2 saja. Mereka meminjamkan pakaian2 hangat dan bahkan mengeluarkan kompor untuk membuatkan minuman hangat. Sekali lagi, di gunung siapapun bisa jadi teman 🙂
Untuk memulihkan tenaga, akhirnya kami memutuskan untuk lanjut ke pos 2 dan menginap semalam di sana. Masalahnya adalah, kami tidak membawa tenda dan perlengkapan memasak. Namun rupanya kami masih beruntung. Salah seorang rombongan yang membantu kami, Om Catur dari Madiun, dengan sukarela meminjamkan tenda dan peralatan memasaknya pada kami. Sementara kami berlima tidur di dalam tenda, beliau dengan besar hati tidur di pelataran tenda. Luar biasa :’) Malam itu kami lewatkan bersama api unggun, teman2 baru, dan obrolan penuh canda hingga kantuk tiba.
Sabtu 16 Agustus 2014. Saat kami terbangun di pagi yang dingin itu, kondisi Arum sudah membaik. Kami dihadapkan pada 2 pilihan: lanjut mendaki ke puncak atau kembali turun. Menjelang upacara bendera 17 Agustus, puncak Lawu sungguh menggoda–apalagi kami sudah mencapai separuh perjalanan. Sungguh sayang rasanya. Tapi bagaimanapun kami harus tetap mengutamakan keselamatan diri. Akhirnya pagi itu kami pun berkemas dan turun gunung. Bersama 2 pendaki lain dari Kediri, kami menangguhkan keinginan untuk mencapai puncak. Ya, puncak gunung tak akan lari dikejar. Ia akan tetap berdiri di sana dan menunggu. Suatu saat kami bisa mendatanginya kembali. Tapi untuk saat ini, puncak bukanlah milik kami.
Keputusan itu ternyata adalah keberuntungan terbesar kami. Sekitar tengah hari kami tiba di gerbang pendakian Cemoro Sewu. Malam harinya, tersiar kabar bahwa jalur pendakian Gunung Lawu terbakar hebat. Kebakaran itu bahkan merambat mulai pos 5 hingga ke pos 3. Jalur pendakian ditutup, upacara bendera di puncak dibatalkan, dan 700 pendaki terjebak di gunung. Pada saat itu, kami bersyukur karena sudah berada di dalam rumah dengan aman. Seandainya pagi itu kami memutuskan untuk lanjut ke puncak, mungkin kami akan sampai di sana, tapi tidak akan bisa kembali. Kami yang tidak membawa tenda dan logistik, mungkin akan kedinginan, kelaparan, dan kehausan sementara terjebak di gunung. Luar biasa bagaimana semua kejadian sudah diatur sedemikian rupa olehNya…
Well, pendakian kali ini memang tidak bisa dibilang sukses, tapi bukan berarti gagal. Sometimes it’s not about the destination, but the journey. Selalu ada yang bisa dipelajari dari sebuah perjalanan. Karena setiap langkah yang kita tempuh adalah upaya untuk memperkaya hidup. 🙂
Part 2: bakul nasi Gunung Lawu, wisata petik stroberi Cemoro Sewu, Telaga Sarangan, dan pecel Madiun