Sejak tinggal di UK, saya jadi (terpaksa) belajar memasak. Bukan apa-apa, harga makanan di warung a.k.a. restoran lokal luarrrrr biasa mahalnya. Zaman masih ngantor di Surabaya, pulang kerja kalau lapar langsung ke warung Padang beli nasi rendang cuma Rp 10,000. Sekarang? Pulang kuliah kalau lapar ya masak dulu, atau minimal menghangatkan masakan yang sudah dimasak (beberapa hari) sebelumnya. Makan di warung kampus yang murah saja sudah kena Rp 60,000, apalagi di resto di kota bisa sampai Rp 200,000 sekali makan. Duit segitu kalau dibuat belanja groceries di supermarket dan dimasak sendiri bisa buat makan seminggu. Jauh lebih ngirit kan?
Lagipula, makanan di sini tentunya kurang cocok dengan lidah Indonesia. Kadang saya kasihan sama orang Inggris. Masakan mereka “sepo”, cuma bumbu garam dan cuka. Kalau mereka nggak menjajah Asia, mungkin mereka gak akan kenal sama yang namanya pepper (lada), nutmeg (pala), cloves (cengkih), coriander (ketumbar), cinnamon (kayu manis), cumin (jinten), star anise (bunga lawang), ginger (jahe), galingale (lengkuas), turmeric (kunyit), kaffir lime leaves (daun jeruk), bay leaves (daun salam), lemongrass (serai), dan sederet rempah-rempah eksotis lainnya. Nggak kebayang gimana rasanya cuma makan fish and chips dan fried chicken tawar tiap hari. Mestinya mereka berterima kasih sama orang Asia…
Tapi…saya nggak pernah menyesal harus belajar memasak. Malahan, saya menemukan kesenangan tersendiri di kala meracik bumbu dan mencampur adukkan berbagai bahan masakan di atas kompor. Ya, entah bagaimana memasak menjadi sebuah tantangan yang mengasyikkan 😀 Teori awal tentunya didapat dari resep kilat di internet, tapi eksperimen pribadi lah yang membuat memasak jadi seru dan menantang. Bagaimana rasanya jika kamu mencampur rempah A dengan rempah B? Bagaimana hasilnya jika bahan X dimasukkan setelah bahan Y dan bukannya sebaliknya? Bagaimana caranya supaya daging lebih empuk dan bumbu lebih meresap? Pertanyaan2 itu kadang nggak cukup dijawab dalam sekali ujicoba. Butuh berkali-kali mencoba resep yang sama sampai kita paham komposisi dan cara memasak terbaik.

Dan akhirnya…saya pun mencoba mengingat-ingat rasa masakan ibu di rumah. Capcay buatan ibu. Semur buatan ibu. Rendang buatan ibu. Memori rasa di lidah itu menjadi patokan saat sedang meracik bumbu2 di atas kuali. Tidak jarang saya termenung lama di depan kompor, mengamati kuali di atas api yang menyala kecil, memandangi botol2 rempah di rak dapur sambil menimbang2 bumbu apalagi yang harus saya tambahkan supaya masakan ini jadi pas sesuai memori lidah saya. Dan ketika campur aduk bumbu setengah random ternyata menghasilkan sesuatu yang menggembirakan lidah, puasssss sekali rasanya 🙂
Ketika belanja groceries di supermarket (atau di pasar) pun, ada kesenangan baru yang saya dapat. Supermarket Inggris mungkin adalah salah satu cara instan untuk mempelajari aneka kuliner dunia. Berbagai macam bahan masakan, ala Inggris ala Italia ala India ala China, buah dan sayur yang belum pernah saya lihat, segala jenis spices and herbs, makanan segar, kalengan, dan beku, semua seperti menunggu giliran untuk dicoba. Saya (sangat) suka pergi belanja ke supermarket. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mengamati satu per satu kemasan makanan, membaca komposisinya, kegunaannya, sambil mereka-reka masakan apa yang bisa dibuat dengan bahan ini (atau langsung buka hape dan googling resep). Seperti orang ndeso yang belum pernah masuk hypermart…
Baru saya sadar, seni kuliner itu luar biasa. Kelihatannya sepele, tapi ada filosofi di baliknya. Di dalam kuali, British beef bisa bertemu dengan serai yang diimpor dari Thailand, jinten dari India, cabai dari Brazil…dan jadi sebuah masakan yang mempesona. Setiap bahan makanan itu telah menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai di rak supermarket, sampai takdir membawa mereka bersatu dalam periuk yang membara (aduh). Boleh jadi, dalam masakan tradisional pun terkandung sejarah dan budaya masyarakat setempat. Dalam British fish and chips, makanan kelas pekerja rakyat Inggris, ada sejarah tentang maraknya pukat ikan di laut utara dan pembangunan rel kereta Britania di abad ke-19. Dalam rendang Padang, ada upaya masyarakat tradisional untuk mengawetkan daging di daerah tropis. Dalam berpuluh-puluh jenis pasta ada jiwa makanan pokok orang Italia.
Setiap masakan punya cerita. Dan cerita itu menyeruak dari dalam kuali, merasuk ke dalam hidung hingga meresap ke dalam hati…
Lovely post Umi! I feel the same. The Asian cuisine is so full of life and mystery. I totally relate to the bit on ingredients in Britain finding their way from literally all parts of the world…it is sad that one has to pay a higher ecological price to cook these dishes in Britain while they cost so much lesser when sourced locally in our own Asian countries.
And yeah I thank Google Translate for this 😀 😀
juhee thanks for taking the effort to read and try to understand this post 😉
yeah back home we asian just took for granted all the spices and herbs we easily got..but here now we feel the pain of getting it harder and more expensive. carbon cost is of course one thing to consider, but without that people here may have to suffer with only salt and vinegar, oh that’s pity :p
setiap kali melihat potongan daging sapi di supermarket, selalu terbayang, ini bagian potongan yang mana? enaknya dibikin masakan apa? pake bumbu apa?
begitu halnya juga sosis, semuanya memiliki rasa, cerita dan makna 🙂
opo toh om…^^”
bener banget, kalo hidup di luar negeri mah tiba-tiba jadi ‘bisa’ masak, nyuci, beres-beres, nambal ban, hahahaha
untung gue tinggal di belanda, cari makanan indonesia mah menjamur di sini, haha
iya enak kalo banyak orang indonesia-nya, makanan indo murah gampang dapetnya, kalo di lancaster sini mah apa atuh :s
wah pintar sekali meramu masakan
Nasi Kotak