Tahun lalu ketika pindah ke rumah kontrakan, saya dan suami disibukkan untuk mengisi perabotan rumah. Suami orangnya cenderung ‘minimalis’… bukan soal design ya tapi soal jumlah barang 😛 kalau bisa di rumah nggak terlalu banyak barang supaya gak cluttered. Walhasil kami hanya beli perabot2 secukupnya banget, yang sering dipakai saja…bahkan di antaranya perabot bekas.
Barang2 baru di rumah hanya AC, kulkas, mesin cuci, 2 spring bed, 1 lemari baju, 1 sofa, 2 meja dan tentunya baby supplies buat Rayhan. Sisanya kami beli secondhand atau pakai barang2 lama atau kado pernikahan kami. Televisi pun kami beli bekas (LG 32″ seharga 1.5 juta), buffet TV suami buat sendiri dari kardus sofa, boks dan meja darurat pakai kardus bekas, hemat dan ramah lingkungan wkwkwk. Sampai sekarang ruang tamu kami kosong tanpa perabot, isinya cuma mainan Rayhan dan sepeda motor. Pertimbangannya, jarang terima tamu dan bukan rumah sendiri juga…jadi kok ya eman2 😀
Hasilnya adalah, meskipun rumah kontrakan kami gak gede2 amat, hamdalah terasa luas dan lapang buat Rayhan belajar merangkak dan berjalan. Iya, soalnya gak ada perabotnya 😀 Minim perabot juga minim perawatan kan, jadi gak repot bebersih dan beberes (meskipun bukan saya yang melakukan juga sih).
Selain perabot bekas, kami juga beli kendaraan bekas. Iya, sebelum ada Rayhan kami belum kepikiran beli mobil karena toh ada taksi online. Tapi setelah ada Rayhan (dan tetek bengek bayik yang blibet), mulai kerasa deh perlunya punya mobil. Nah, sekali lagi karena menghindari utang, kami lebih memilih beli mobil second secara cash sesuai budget…daripada maksa beli mobil di atas budget tapi nyicil 😀
Kebetulan teman suami ada yang jual, Grand Livina 2010 dengan perawatan yang masih sangat bagus dan tambahan2 aksesoris yang cukup valuable (velg, mesin, dll). Mobil tersebut akhirnya kami beli dengan harga Rp 90 juta. Hamdalah so far sangat berguna biar Rayhan gak kepanasan dan kehujanan ke mana-mana. Mobil ini juga yang rutin kami pakai mudik PP Semarang – Malang via tol Trans Jawa.
Apalagi yang bekas? Baju-baju saya juga ada yang bekas. Dulu pas masih jadi mahasiswa di UK modal duit negara, saya sering belanja di charity shop, alias toko barang2 bekas untuk amal. Simpel, barangnya bagus, bermerk, tapi harganya kebanting. Lagipula sudah dicuci bersih dan rata2 belinya hanya outer, jadi gak perlu kuatir lah terkontaminasi atau apa. Baju2 ini pun masih saya pakai di Indonesia, awet sampai sekarang.
Jadi demikian ya. Meskipun kelihatannya saya dan suami pegawai perusahaan/anak BUMN (yang kata orang lumayan berkecukupan, padahal mah ya cungpret juga), tapi kami berusaha menerapkan gaya hidup sederhana. Biar apa? Biar gak jadi kebiasaan. Iya, biar gak terbiasa hedon aja. Hidup (insyallah) masih panjang. Masih banyak mimpi jangka panjang yang harus dikejar, dan keinginan untuk bermanfaat kepada keluarga dan masyarakat luas…daripada sekadar foya-foya 🙂