Salah satu alasan mengapa banyak orang tidak mau berharap terlalu tinggi, adalah karena takut kecewa setengah mati. Semakin besar harapan kita–ndakik-ndakik kalau orang Jawa bilang–semakin kecewa rasanya saat harapan itu ternyata tidak terwujud.
Sayangnya, saat kita mengecilkan harapan, atau manage expectation istilahnya, kerap kali diikuti dengan berkurangnya usaha untuk mewujudkan harapan tersebut. Mengapa? Tentunya karena kita enggak mau kecewa… Sudah susah2 berusaha eh ternyata gagal. Berasa sia-sia gitu kan perjuangannya? Berasa diketawain orang2…udah ngoyo banget ndilalah tetap saja kalah sama yang jalur orang dalam *ups* :’))
Namun seperti makna harfiahnya, harapan tentunya tidak mungkin 100% pasti terjadi. Kalau sudah pasti terjadi, namanya fakta dong. Segamblang kenyataan, harapan itu ada di masa depan, dan masa depan mana sih yang bisa dipastikan…?
Artinya, saat kita berharap, kita sudah tahu bahwa ada risiko kecewa. Simpelnya, kalau kamu BERANI berharap, ya harus BERANI kecewa juga dong. JANGAN TAKUT DENGAN KEKECEWAAN. Kalau sudah sering kecewa, nanti jadi mati rasa kok :)) *lah curcol* Kecewa itu hanya sekadar emosi; dan emosi adalah hal yang bisa kamu kendalikan. Kecewa, sedih, sakit hati dan emosi2 negatif lainnya…pada dasarnya adalah pondasi kematangan mental yang akan menciptakan keseimbangan saat kamu merasakan emosi positif nantinya.

Intinya, jika kamu berani menanggung risiko kekecewaan itu, maka nggak akan ada yang bisa menghalangi kamu untuk berharap sebesar-besarnya. Bermimpi setinggi-setingginya. Kamu akan mengerahkan segenap kemampuanmu untuk mewujudkannya seolah-olah nothing to lose. Urusan sukses atau gagal itu belakangan. Karena kamu sedang ‘menabung energi’, berharap semesta akan menyimpannya dan mengembalikannya padamu di saat yang tepat.
Prinsip ini sebetulnya bisa diterapkan juga bagi para salesperson seperti saya. Pada dasarnya untuk mencapai target penjualan, tentu harus memperbanyak leads alias “tebar jala”. Setiap kali mendapatkan leads, pasti kita menaruh harapan bahwa ini akan closed deal kan. Pada saat yang sama, kita juga paham bahwa ada risiko gagal tadi. Kadangkala saat ada leads yang gagal closing, kekecewaan kita melekat sehingga jadi agak enggan untuk mendekati leads lain yang sejenis karena takut gagal lagi. Takut kecewa lagi. Padahal yaa, kegagalan itu banyak faktornya, bisa jadi hanya soal timing. Siapa tahu leads sejenis bisa berhasil pada kesempatan berikutnya, tapi kita keburu menyerah karena “takut dengan rasa kecewa”.
Percayalah… Cara terbaik untuk meminimalisasi rasa kecewa adalah dengan lebih sering merasa kecewa. Semakin banyak kamu tebar leads, sudah sewajarnya semakin banyak frekuensi untuk gagal/ditolak. Semakin sering gagal, semakin sering kamu kecewa… Hingga akhirnya rasa kecewa itu sudah tidak lagi menjadi hal besar dalam keseharianmu. Kecewa menjadi hal biasa sehingga tidak menjadikanmu kapok/trauma untuk terus “menebar jala” sambil berharap lagi dan lagi…. Karena sebesar peluang gagalnya, sebesar itu pula peluang berhasilnya.
Tau nggak apa yang rasanya lebih gak enak daripada kecewa?
Menyesal.
Iya, menyesal kenapa kamu nggak mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanmu. Menyesal kenapa kamu nggak mengambil kesempatan itu. Menyesal kenapa kamu setengah2 dalam berharap… Toh kalau gagal sama2 kecewa juga. Lebih baik kecewa tapi sudah berusaha maksimal daripada kecewa karena tidak ngapa2in kan? Karena somehow kecewa-mu terasa lebih valid, dan kamu bisa lebih legowo sebab faktornya ada di luar kendalimu. Kamu nggak akan menyalahkan dirimu sendiri. Kamu lebih bisa yakin bahwa usahamu enggak sia-sia, dan kesempatan lain akan datang pada akhirnya.
Kalau mau lebih ilmiah lagi, dalam setiap ekspektasi kita bisa membuat skenario seberapa besar peluang kesuksesan/kegagalan harapan tersebut. Lalu membuat plan B/C/D/E seandainya terjadi kegagalan. Jadi saat gagal beneran, udah nggak sempat tuh merasa kecewa berkepanjangan. Soalnya fokus kita langsung beralih ke menjalankan rencana B/C/D/E tadi. Begitulah kira-kira. Kalau pakar2 manajemen risiko pasti udah ngelonthok sih dengan teori macam ini wkwkwk. Walau sekali lagi, mempraktikannya tentu tydack semudah itu Ferguso… Apalagi untuk jiwa2 sensitif baperan ini :’))
Akhir kata, selamat menikmati rasa kecewa! 😉