Bukan, ini bukan tentang lagunya Banda Neira. Bukan pula tentang puisi sarat makna. Cuma cerita tentang bergantinya asa–suatu tahap dalam kehidupan manusia yang ternyata tak terhindarkan juga.
Coba tanyakan kembali, apa cita-citamu saat masih kecil dulu? Apakah sama dengan pekerjaan yang kamu jalani saat ini? Kalau iya, mungkin kamu termasuk orang yang sangat konsisten dan tentunya super-privileged. Atau mungkin termasuk orang visioner yang sudah bisa menebak profesi2 apa yang bakal hits di masa depan 🙂 As common people, I believe most of us had to swallow those hard pills in the course of being an adult: exchange your dreams with security and stability.
Saya sendiri dulu pengin banget jadi novelis, jurnalis, pokoknya yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Teman sekolah dari SMP-SMA hampir selalu mengidentikkan personal branding Umi sebagai seorang penulis–saya menulis serial novel di buku Sidu yang dibaca bergiliran teman2 sekelas, mencetak dan menjilid novel sendiri untuk diedarkan ke teman2, menjuarai berbagai macam lomba essay, dan juga aktif jadi redaksi di majalah sekolah. Bahkan saya sudah punya cita-cita, lulus SMA pengin kuliah Jurnalistik di UGM, lalu mengejar mimpi menjadi wartawan Kompas, surat kabar terkeren pada masanya.
Tapi hidup gak berjalan semulus itu kan… :))

Instead of Yogyakarta, I ended up in “Beijing-like” environment where I learned business management and Mandarin language 🙂 Empat tahun ditempa dengan entrepreneurship, ternyata menumbuhkan skill baru yang tidak terduga saya punyai sebelumnya. Lepas dari sana, langsung bekerja di perusahaan manufaktur sebagai export marketing, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia tulis menulis (kecuali menulis e-mail :)) Fast forward 10 years later, I still work as salesperson in a digital-telco company. Tidak ada tuh Umi yang menjadi jurnalis, novelis, apalagi memiliki perusahaan penerbitan sendiri :)))
Apakah saya menyesal tidak mencapai cita-cita saya?
Dulunya sih begitu… Tapi kalau dipikir-pikir lagi, misalkan saat itu saya nekat mengejar mimpi itu, dengan dukungan yang minim dan fasilitas yang serba terbatas… Mungkin sulit juga bagi saya untuk benar2 mencapainya. Kalaupun tercapai, mungkin saya enggak akan merasa “sepuas” itu karena ternyata–setelah mengetahui fakta2 tentang gaji jurnalis, royalti penulis, dll–cita2 saya itu mungkin gak akan bisa menyokong kehidupan saya.
Apakah saya bahagia sekarang menjadi “budak korporat”?
Jujur, ada masa di mana saya masih fresh graduate di perusahaan pertama dan membenci rutinitas sebagai pegawai kantoran, lalu resign setelah 2 tahun dan memutuskan kuliah lagi. Namun ternyata, setelah lulus kuliah S2 dan mengalami gap months, saya merindukan rutinitas itu 🙂 Saya kangen bangun pagi, berangkat ke kantor, kerja kerja kerja lalu gajian. Saya kangen dengan to-do-list yang sudah jelas setiap hari tanpa harus memikirkan apa yang harus dilakukan hari ini. Saya kangen dengan rekening yang mendadak gendut setiap tanggal 25 dan bonus2 serta fasilitas yang pasti. Ternyata menjadi budak korporat memanglah candu. Segala stabilitas dan keamanan yang menyertainya, bagaikan tali pengikat yang menahanmu dari meraih mimpi-mimpimu… Tapi ternyata, kamu memang seorang masokis yang senang ditali-temali wkwkwk jadi yaa cocok deh :))
Mimpi (lama) saya memang patah, tapi dia tumbuh lagi dalam bentuk yang baru. Sebagai budak korporat, tentunya saya ingin berkontribusi maksimal kepada “tuan” saya. Tentunya saya ingin menjadi “pengabdi” yang diakui dan diapresiasi atas pekerjaan yang dilakukan selama ini. Mimpi (lama) saya memang hilang, namun ia berganti menjadi mimpi-mimpi yang lain. Mimpi dalam hal keluarga, pertemanan, spiritual… Mimpi yang lebih sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini, mimpi yang masih terus menjadi bahan bakar semangat hidup dalam menjalani hari-hari…
Teruslah bermimpi. Mimpi boleh berganti, tapi tidak boleh berhenti. Karena ialah yang membuatmu hidup sepenuh hati…