Di antara jutaan spesies yang pernah hidup di muka bumi, homo sapiens lah pemuncak rantai makanan tertinggi. Padahal kita bukanlah yang terkuat, bukan pula yang tercepat, pun bukan pemilik otak terbesar. Pernah terpikir kah mengapa? Sederhana sekali, ternyata kitalah spesies paling ‘halu’ di antara lainnya :)) Kitalah spesies dengan kemampuan rekayasa memori paling mencengangkan, membuat yang tiada serasa ada dan juga sebaliknya. Kitalah spesies yang mampu menciptakan konteks dan makna sebuah situasi, yang bagi spesies lain tak ada artinya sama sekali. Kitalah satu-satunya spesies yang memiliki self-awareness alias kesadaran diri, dapat mencerna masa lalu sekaligus memproyeksikan masa depan. Semua itu ternyata dihasilkan dari kemahiran otak kita menciptakan cerita-cerita (storytelling)–yang membuat eksistensi dan kehidupan kita sebagai manusia, terasa jauh lebih bermakna dari sekadar homo sapiens belaka.
Mendengarkan ‘khotbah’ Ibu Suri Dee Lestari minggu lalu, betul-betul sebuah pencerahan bagi saya. Ternyata begitu dahsyat kekuatan sebuah cerita dalam keberlangsungan hidup manusia. Edward O. Wilson dalam bukunya “Meaning of Human Existence”, memaparkan bahwa eksistensi batin manusia sepenuhnya bergantung kepada kemampuan konfabulasi: yaitu rekayasa memori yang dilakukan seseorang sebagai kompensasi atas kesenjangan atau kekosongan ingatan. Kedengarannya memang seperti ‘halu’, tapi ternyata ‘kehaluan kolektif’ kita sebagai satu spesies selama ratusan ribu tahun… berhasil membawa kita kepada perabadan secanggih saat ini 🙂
Coba pikir… Apa yang membuat kita mampu membangun ribuan candi? Bisa jadi, sebuah cerita tentang betapa megahnya para Dewa. Apa yang membuat kita mampu menembus ruang angkasa? Cerita dan kepercayaan bahwa di alam semesta yang luas ini, manusia tidaklah mungkin hidup sendirian. Apa yang membuat kita mampu bertahan hidup dalam kondisi ekstrim hampir mati? Cerita-cerita penuh semangat tentang keluarga, mimpi dan harapan yang masih ingin kita raih–kepercayaan bahwa ada kehidupan setelah kematian, yang membuat kita ingin hidup sebaik mungkin untuk mengumpulkan ‘bekal’.
Semua pencapaian peradaban manusia diraih bukan karena naluri, tetapi otak storyteller kita. Jika hanya menuruti naluri, hidup manusia cukuplah makan, bergerak, dan berkembang biak seperti para penghuni kebun binatang. Namun dengan otak pencerita kita, manusia dapat merasakan nikmatnya comfort food penuh kenangan, lebih dari sekadar makan soto biasa. Kita bisa menyalurkan passion beraktivitas penuh semangat, lebih dari sekadar gerak raga saja. Kita bahkan dapat merasakan cinta romantis dari apa yang bagi spesies lain hanya hubungan seksual belaka. Dalam buku bestseller-nya “The Science of Storytelling”, Will Storr menggambarkan dengan sangat brilian bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang sadar bahwa mereka hidup dalam kekosongan tanpa batas di alam semesta, namun tidak menghiraukannya dan malah menciptakan tujuan2 sendiri untuk dicapai supaya hidupnya ‘terkesan bermakna’. “Stories are us. It’s story that makes us human,” katanya.

Sebegitu besarnya kekuatan cerita, hingga melaluinya, kita dapat menentukan konsep baik dan buruk. Lewat kisah para pahlawan dan orang-orang suci, sejak kecil kita telah diberi patokan moral compass tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Cerita-cerita semacam holocaust dan tragedi 1965 misalnya, bahkan bisa membuat seseorang atau suatu kelompok, dianggap baik atau buruk, benar atau salah. Karena ternyata bagi pendengar cerita, koherensi lebih penting daripada kebenaran cerita itu sendiri. Michael Gazzaniga dalam bukunya “Cognitive Science: The Biology of The Mind” mengungkapkan bahwa koherensi cerita menghasilkan pola dan struktur bagi pendengarnya, yang membuat cerita itu lebih bisa dipercaya–terlepas dari benar atau tidaknya.
Saya pernah menulis tentang betapa hebatnya para storytellers dari Britania, yang mampu menciptakan kisah-kisah penggerak peradaban. Cerita-cerita macam Harry Potter, Star Wars, dan Avengers bahkan menjadi sebuah industri bernilai milyaran dolar. Pada dasarnya manusia memang suka ‘dibohongi’, diajak menyelami ilusi yang terstruktur dan terlihat rasional… Padahal tahu kita sedang menipu diri sendiri dalam angan-angan, namun bukankah kadang rasanya bikin ketagihan :’))
Dalam kegiatan bisnis, storytelling pun menjadi sangat penting. Pada dasarnya perusahaan digerakkan oleh sekumpulan manusia, dan setiap manusia pasti dapat digerakkan emosinya melalui sebuah cerita yang sesuai dengan situasi mereka. Menciptakan sebuah cerita menarik di balik suksesnya suatu proyek, di dalam sebuah proposal kerjasama, atau di sela kampanye pemasaran suatu produk… dapat meningkatkan efektivitas suatu business deal yang ingin dicapai. Semua itu dijelaskan di artikel ini yang membuat saya tertarik sekali untuk mencoba mengaplikasikannya dalam pekerjaan saya sehari-hari (mudah2an gak mager mau nyobain wkwk).
Kira-kira begitulah sedikit self-reflection hasil mengikuti kelas Kaizen Structure by Dee Lestari dari Kuncie pada 12 & 14 Juli lalu. Kelasnya cuma 2×2 jam, tapi efeknya sangat mindblowing. Kita betul-betul diajarkan bagaimana step-by-step cara merangkai fondasi sebuah cerita yang hidup dan believable. Karena di balik proses yang kata orang sekadar “mengarang cerita”, oww ternyata tidak semudah itu Ferguso… Ada strukturnya juga semacam karya ilmiah hehehe. Buat para storytellers di luar sana, jangan patah semangat… Teruslah sebarkan ceritamu untuk menggerakkan peradaban umat manusia… 😀
Waw, nice writing Mbak. Paragraf demi paragrafnya mendorong untuk bergerak memahami kekuatan akan kegemaran Homo Sapiens ini tentang storytelling. Ga sabar pengen ikut kelas Kaizen Structure 😍.
Makasih mba… Cusss worth it banget ikutan kelas Kaizen Structure-nya Teh Dee 😀